Stoik Bagian 15

155 22 1
                                    

Minggu kedua, Alex jatuh sakit.

"Kamu tuh udah numpang, pake acara sakit segala," oceh sang bunda.

Emang siapa sih yang mau sakit? Batin Alex.

Kepalanya serasa dipukul-pukul. Ia peluk bantalnya erat, berusaha mengalihkan rasa sakit yang ada.

Alex hanya demam, tapi bagaimana jadinya jika orang demam tidak diberi makan dan tidak diberi obat?

Bukankah akan semakin memburuk?

Bunda nya hanya melengang pergi dari kamarnya. Setengah jam kemudian, Alex mendengar suara mobil yang keluar dari halaman rumah bunda nya.

"Anjing, mereka pergi,"

Kepalanya sungguh pusing saat ini. Badannya terlalu lemas untuk sekedar keluar kamar, meminum air putih. Alex eratkan selimutnya, berusaha untuk jatuh terlelap.

Drrt, drrt, drrt

"Siapa sih?"

Alex mengangkat telpon tersebut. Dengan suara parau nya. Tubuhnya masih meringkuk dan ia biarkan ponselnya dalam mode loud speaker.

"Halo?"

Bram?

Alex terkejut bukan main. Dari mana Bram dapat menemukan nomor ponselnya yang baru?

"Alex?"

"Ya?"

"Suara kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya Bram dengan nada khawatir.

Semenjak hari terakhir dirinya berbicara dengan Bram, dirinya semakin menutup diri dari semua orang. Tidak ada yang tahu mengapa Alex berubah. Hanya Alex sendiri yang mengerti mengapa dirinya bersikap seperti itu.

"Kakak dapet...nomor aku dari mana?" tanya Alex.

Pada hari itu, Alex menolak untuk berpacaran kembali dengan Bram. Ketika ditanya alasannya apa, Alex selalu menghindar dibalik jawaban-jawaban yang terdengar masuk akal.

"Aku nggak bisa lepasin kamu gitu aja, Lex. Aku ga bisa kasih kamu ke om Yogo sama tante Indah," ujar Bram.

"Kenapa nggak?"

Kepala Alex berdenyut nyeri. Matanya terpejam erat dan kepalanya semakin memberat dirasa, "Mereka baik..." sambung Alex.

"Nggak, Lex. Nggak. Aku bakal jemput kamu sekarang kalo kamu izinin aku buat pergi," ujar Bram.

"Aku tau kamu nggak baik-baik aja, Sayang," sambung Bram.

"Udah ya. Aku mau tidur dulu kak. Bye,"

Kepala Alex sudah sangat pening. Dia tidak kuat untuk sekedar berbicara hal berat dengan Bram. Tubuhnya begitu panas dan kaki-kakinya menggigil. Dirinya hanya berharap sang bunda pulang dengan membawa makanan untuknya.

"Bunda sayang kan ya sama aku?"

s.t.o.i.k

"Siapa yang sekarang ga becus ngusu anak? Anak udah lemes gitu masih kamu biarin,"

"Aku kasih dia makan kok. Dia sendiri yang sering pulang malem. Makanya sakit. Udah gede juga,"

Perdebatan itu terdengar ketika Alex membuka matanya. Tangan kirinya nyeri dan baru disadari kalau tangannya terpasang selang infus.

"Oh, dah bangun,"

Samar-samar dirinya melihat Jo yang ada di sampingnya, bersamaan dengan Raja yang duduk di sofa, tak jauh di belakang Jo berdiri.

"Ga usah dengerin percakapan ayah sama bunda. Biarin," ujar Jo.

Alex merasa sekujur tubuhnya masih menggigil, ia tarik perlahan tangan Jo, "Peluk, Bang."

Stoik - ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang