"Eh, kamu pacaran sama kak Bram kok nggak cerita-cerita sih? Masa iya aku mesti tau dari kak Raja dulu,"
Jo menepuk dan sedikit meremat pundak adiknya dengan kesal. Sedangkan Alex hanya terkekeh kecil menatap Jo. Sapta yang mendengar itu hanya bisa mengerjapkan mata beberapa kali, menelaah informasi yang baru masuk ke kepalanya.
"Emang kalo aku pacaran, harus diumbar-umbar ya?" tanya Alex.
"Aku Abangmu, Lex. Kita bukan orang lain," jawab Jo dengan kesal.
Sudah seminggu berlalu, gosip tentang Bram memacari Alex mulai tersebar di sekolah. Beberapa ada yang terkagum-kagum, beberapa ada yang menentang hubungan mereka. Kebanyakan yang menentang adalah anak OSIS/MPK. Mereka berpikir bahwa Alex sama sekali tidak beretika dan tidak cocok dengan Bram.
"Eh pada ngumpul di sini,"
Raja, bersama Dikta, menghampiri meja ketiga adik kelas mereka itu. Raja tentu saja bergabung karena ada pacarnya di sana. Sendangkan Dikta, ia ingin modus mendekati Sapta.
"Gabung dong,"
Bukan Bram, melainkan Kevin yang datang. Kevin dengan santainya merangkul bahu Alex dan menatap ke arah teman-temannya. Alex yang diperlakukan seperti itu pun hanya bisa menyingkirkan tangan Kevin perlahan, "Sorry kak, aku udah pacaran sama kak Bram."
"Oh, ternyata rumor itu bener? Tapi nggak apa sih, Bram juga udah ngasih izin," celetuk Kevin santai.
Ucapan Kevin sontak membuat seluruh atensi di meja itu tertuju kepada Kevin. Menyadari atmosfir yang tiba-tiba mendingin, Raja akhirnya berbicara.
"Udah-udah. Mending kamu turunin itu tangan kamu. Walaupun Bram sudah kasih izin kamu, tetep aja ga etis, Vin. Gitu-gitu Alex dah pacar orang," ujar Raja.
Sedangkan Alex, dirinya daritadi hanya bisa terdiam seribu bahasa saat Kevin berbicara seperti itu. Apa maksudnya Bram mengizinkannya untuk menyentuhnya? Apa laki-laki itu gila?
Sepulang sekolah, Alex sengaja menemui Bram untuk menanyakan maksud ucapan Kevin ketika berada di kantin. Hati dan pikirannya memanas, siap untuk mencerca Bram begitu saja.
"Dia masih berani pegang-pegang kamu? Katanya aku yang kasih izin?"
Bram berdecak. Laki-laki itu marah.
"Aku nyuruh dia buat bersaing dapetin kamu dengan sehat. Bukan aku ngebolehin dia apa-apain kamu semau dia," jelas Bram.
Alex semakin tidak paham. Apakah Kevin menyukainya juga?
"Dia suka sama kamu, Lixie. Makanya aku nantangin dia," ujar Bram.
Alex semakin terkejut ketika Bram menyematkan nama panggilan baru untuknya. Seketika, rasa amarah yang menyelimuti Alex, menghilang. Berganti dengan perasaan menggelitik senang.
"Kamu kenapa?" tanya Bram.
Tangannya terulur, menyisir rambut pirang milik Alex. Usapan tangannya turun dan mencubit kecil pipi Alex, "Gemes,"
Alex yang sedari tadi tersipu malu, wajahnya semakin memerah. Hatinya terasa hangat dan senang. Seperti ada kembang api yang meledak-ledak di dalam dadanya.
"Uh---seneng banget kayaknya," goda Bram.
Pipi Alex bersemu merah. Alex seketika membuang muka, berusaha menyembunyikan wajah meronanya. Bram menggoda Alex dengan terus-menerus mengikuti arah gerak wajah Alex, yang pada akhirnya membuat pemuda itu mengerang.
"Aaaa---jangan diikutin. Malu," ujar Alex.
"Siapa yang katanya cowo paling angkuh di sekolah, hmm? Ternyata bisa semanis ini di depan pacarnya," celetuk Bram sambil mencubit hidung Alex.
s.t.o.i.k
"Kenalkan, saya Agi Prayogo. Biasa dipanggil Yogo. Kalian nggak masalah kan kalau saya ikut makan malam di rumah kalian?"
Kedua anak kembar itu hanya bisa diam di tempat ketika mendapati ada 'orang asing' di tempat mereka.
"Eh, iya boleh kok Om Yogo. Silahkan," ujar Jo canggung.
"Kok 'om' sih manggilnya sayang? Panggil 'ayah' gitu biar terbiasa," ujar sang Bunda yang masih mempersiapkan makan malam mereka.
Jo hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Alex melirik ke arah Jo yang duduk tidak nyaman di tempatnya.
"Kan kami belum setujuin bunda sama Om Yogo. Kami nggak bisa gitu aja manggil dia 'ayah'," celetuk Alex.
Jo menoleh ke arah Alex dan kemudian melihat ke arah bunda mereka. Bunda mereka seketika berjalan ke arah meja dan mengetuk meja itu dengan sedikit keras.
"Emang sepenting apa keputusan kalian? Kalian ga suka? Keluar aja dari rumah ini. Toh, rumah ini atas nama bunda," ujar wanita itu dengan santai.
Alex seketika menarik tangan Jo dan menjauh dari meja makan tersebut. Namun, sebelum mereka berdua menjauh, Alex menghentikan langkahnya dan berbalik arah, "Mungkin ini hari terakhir kami di rumah ini, Nyonya Indah. Terima kasih," ujar Alex sambil membungkuk.
Kedua anak kembar itu berlari ke kamar mereka, mengemasi barang-barang, dan menuju rumah Sapta. Mereka berharap, setidaknya mereka bisa tinggal di rumah Sapta sampai mereka dapat menemukan alamat rumah sang ayah.
Ting, tong!
"Loh, yang?"
Alex dan Jo sama-sama terkejut ketika mendapati Raja dan Dikta ada di dalam rumah Sapta. Raja dan Dikta jauh dua kali lebih terkejut ketika melihat Jo dan Alex seperti orang yang ingin pindah rumah.
"Eh, kalian dah dateng? Cepetan masuk sini,"
Sang tuan rumah langsung meminta kedua anak kembar itu masuk. Mereka meletakkan barang-barang mereka di kamar tamu, sampai akhirnya, ayah Sapta ikut bergabung dalam obrolan para remaja SMA itu.
"Saya coba telpon si Arya lagi ya. Sebenarnya, om tau apa yang terjadi. Tapi om nggak mau merusak kepercayaan kalian," ujar ayah Sapta.
"Saya tau kok om. Bunda yang salah," ujar Alex santai.
Jo menatap Alex tidak terima, "Kok kamu nyalahin Bunda sih Lex? Yang ninggalin kita itu ayah, bukan bunda!" seru Jo.
Raja memegang tangan Jo yang bergetar. Tak lama kemudian, laki-laki itu akhirnya menangis. Raja menarik tangan lelakinya agar masuk dalam dekapannya.
"Kamu mungkin ga tau, Bang. Tapi yang biayain kita sekolah sampe bisa masuk JY International High School, itu karena ayah. Bunda udah mana mau tau," ujar Alex.
"Kalau bunda emang masih sayang sama kita, ga mungkin dia dengan entengnya ngusir kita kayak gini. Ini juga bukan kali pertama kita ketemu sama si Yogo, Yogo itu," ujar Alex.
Ayah Sapta nampak terkejut mendengar penuturan Alex. Namun wajahnya lebih terkejut ketika Alex menyebutkan nama 'Yogo'.
"Maksud kamu, Agi Prayogo nak?" tanya ayah Sapta, memastikan. Sapta dan Dikta disana hanya bisa menyimak tanpa ikut campur, terlebih Raja yang berusaha menenangkan Jo.
"Iya, Om. Alex udah coba cari info, tapi nggak nemu apa-apa. Susah," ujar Alex.
Ayah Sapta langsung men-dial nomor seseorang. Wajahnya nampak merengut kesal. Ketika telpon itu tersambung, ayah Sapta berbicara,
"Arya, ini anak kamu dua diusir sama ibuknya gara-gara Yogo. Masih hidup aja itu orang," ujar ayah Sapta.
Sontak keempat pasang mata di sana heran dengan ucapan ayah Sapta. Terlebih lagi Alex.
"Om Yogo, dia siapa om?"
s.t.o.i.k

KAMU SEDANG MEMBACA
Stoik - Changlix
FanfictionKenapa sih, orang kalau naksir harus lihat wajahnya dulu? Pair : Changlix