Stoik Bagian 13

147 24 3
                                    

"Kamu tuh bikin anak aku nggak bener! Nggak ada anak yang benci sama ibunya sendiri!"

Suara melengking terdengar dari arah ruang tamu. Jo dan Raja yang tengah memapah Alex, hanya bisa terdiam kaku ketika melihat ada seorang wanita memaki seorang pria di depannya.

"Astaga, Alex kenapa?"

Arya yang melihat itu langsung menghampiri ketiga remaja itu. Posisi Alex masih sama, badannya lemas, tapi dengan raut wajah terkejut dan tidak terkendali.

"Tuh, baru berapa hari ngurus anak aja ga becus!"

Jo menatap nyalang ke arah sang bunda. Apa bunda nya tidak berpikir kalau semua ini juga termasuk ulahnya?

"Anak bisa pucat pasi begitu, nggak kamu kasih makan Arya? Makanya, belajar jadi orang---"

"Bunda, cukup!"

Jo berseru, membuat ocehan sang bunda terhenti. Wanita paruh baya itu menatap tak percaya ke arah sang anak. Dia berjalan mendekat ke arah Arya yang menggendong Alex.

"Lihat. Kamu lihat, Arya! Jo udah berani bentak aku! Dan itu semua gara-gara kamu!---"

"SEMUA GARA-GARA BUNDA!"

Jo sudah tak kuat menahan emosinya. Air matanya terjatuh begitu saja tatkala menyerukan kekecewaannya. Bagaimana hatinya yang selama ini tertahan untuk menjerit, telah dilepaskan.

"Kamu kok---"

"Semua gara-gara bunda! Kami dibenci nenek gara-gara bunda. Alex punya trauma gara-gara bunda. Kami punya trust issue gara-gara bunda. Semuanya gara-gara bunda!" seru Jo.

Raja berusaha memegangi tubuh Jo yang mulai limbung. Sedangkan sang ayah, sudah naik ke atas agar Alex dapat beristirahat. Dapat dilihat sorot mata keangkuhan di mata sang ibunda. Wanita itu bahkan tidak bisa mencari dimana letak kesalahannya sendiri.

"Oh...mentang-mentang ayah kamu kaya, kamu berani nyalahin bunda sekarang? Kamu lupa siapa yang urus kamu sama adikmu itu waktu di rumah? Bunda yang urus Jo!" cecar sang bunda sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Kalian pikir, ngurus kalian ga capek? Nurutin kalian ini itu ga capek? Masih untung bunda ga nyuruh kalian kerja," sambung sang bunda sambil melipat tangannya.

Arya yang mendengar hal itu menunjukkan wajah tidak percaya, "Kamu mau nyuruh mereka kerja, Indah? Kamu gila."

"Daripada mereka sekolah terus? Buang-buang uang. Mending mereka kerja," ujar Indah. "Ya...untungnya kamu masih tau diri buat bayarin sekolah sama jajan mereka," sambung Indah.

"Ya sudah, kalau bunda ga mau urus kami, biar kami ikut ayah," ujar Jo disela isak tangisnya.

Sambil memainkan jarinya, Indah menatap remeh mantan suaminya, "Enak aja. Hak asuh kalian itu masih di bunda. Kalian ga bisa pergi kemana-mana," ujar Indah.

"Biar kamu bisa ambil uang aku terus kan? Kamu butuh Jo dan Alex cuma karena uangku kan? Hahaha, Indah, Indah,

Kamu emang ga berubah dari dulu. Mata duitan, suka untung sendiri. Emang Yogo ga kerja? Kok sampe harus minta uangku?" ejek Arya.

Wajah Indah berubah merah padam. Dia menatap sengit ke arah Arya, "Jangan bawa-bawa Yogo!"

"Loh, kenapa? Yang bikin kamu jadi seperti ini kan karena Yogo? Yang bikin tabiatmu licik dan manipulatif kan Yogo?" ujar Arya.

"Aku sudah urus perpindahan hak asuh kamu ke pengadilan. Aku akan lewat jalur bersih, Indah. Tapi kalau kamu menolak, aku akan gunakan segala cara agar Jo dan Alex bisa bersamaku.

Cukup mereka tersiksa sama kamu dua tahun. Aku nggak mau lagi," tandas Arya.

Indah menggeram marah, wanita itu kemudian menunjuk Jo, "Lihat! Gara-gara kamu, mereka jadi suka sama laki! Kamu emang ga bener! Siapa takut buat ngelawan kamu di pengadilan, hah?" seru Indah.

"Loh? Urusan percintaan mereka, ya urusan mereka. Urusan mereka suka laki-laki atau perempuan, ya urusan mereka. Tapi ya...bisa jadi mereka nggak mau sama cewe karena role model ibu nya aja ga bisa dijadikan contoh," balas Arya.

Raja yang mendengar semua perdebatan kedua orangtua itu hanya bisa mendekap Jo dengan erat. Tangannya sebisa mungkin menutup pendengaran Jo, agar laki-laki itu tetap tenang.

"Ke atas aja ya, by? Biar kamu nggak tambah pusing," tawar Raja. Jo hanya mengangguk pelan. Dengan respon itu, Raja akhirnya menggendong Jo ke kamarnya. Dalam hati, Raja hanya bisa membatin,

"Gila."

s.t.o.i.k

Alex menggunakan salah satu kamar pemberian ayahnya. Dia mencoba untuk menelepon Bram dengan harapan, mood nya bisa berubah jauh lebih baik. Namun, di awal percakapan saja, Bram sudah mengeluh karena Alex menelepon terlalu lama.

"Kita putus aja ya kak,"

Hening menyelimuti pembicaraan melalui ponsel itu. Suara Alex cukup parau, menandakan bahwa pria itu sudah menangis cukup lama.

"Alex, hei, tenang dulu. Pikiran kamu pasti masih kalut. Jangan gegabah gini, Lex," ujar Bram di seberang sana.

"Aku gagal di olim kak. Keluarga aku hancur. Aku muak sama diriku sendiri yang dibilang 'murahan' sama anak sekolah. Aku capek," keluh Alex.

"Tapi itu nggak ada hubungannya sama hubungan kita, Alex,"

"Aku ngerasa diriku nggak pantes buat bahagia. Kenapa Bang Jo bisa bahagia sama kak Raja, sedangkan aku nggak?"

"Alex, dengerin. Hubungan mereka ya hubungan mereka, hubungan kita ya hubungan kita. Gaada sangkut pautnya, Alex,"

"Kamu bahkan nggak kasih aku panggilan khusus, Kak,"

"Duh, Lex. Emang sebutuh itu? Emang 'status' kita masih kurang?"

Rasa sakit mulai menyelimuti hati Alex. Jujur dirinya iri ketika Raja bisa memanggil abangnya 'baby' dengan mudah. Sedangkan Bram? Laki-laki itu bahkan tidak peduli sama sekali.

"Halo, Alex?"

"Kenapa sih kak? Kok rasanya aku pacaran sama kamu kayak 'ngemis' banget gitu? Aku kebanyakan nuntut ya?"

Alex mulai menghancurkan dirinya sendiri tanpa sadar. Merendah, merendah, hingga jatuh terinjak-injak. Merasa bahwa dirinya tidak akan pernah spesial di mata orang lain, bahkan pacarnya sekalipun.

"Kamu ga kebanyakan nuntut, Lex. Kalo kamu ngerasa kayak ngemis ke aku, aku minta maaf. Tapi aku emang begini,"

"Tapi aku mau perhatian kak Bram,"

"Duh, kenapa sih, Lex. Aku kurang ngasih apa? Aku bahkan mau ladenin kamu di telpon. Padahal kita bisa ketemu besok sambil bicarain perihal senior-senior itu tadi,"

Nada yang dibuat Bram semakin lama, semakin kesal. Bram merasa bahwa Alex sangat manja. Mereka berdua akhirnya kembali diam. Merenungkan isi kepala masing-masing.

"Aku murahan ya kak?"

"Udah deh, Lex. Putus aja kita. Kamu aneh,"

Dan telepon panggilan itu pun ditutup sepihak.

Alex menangis, memeluk bantal yang ada didekatnya. Laki-laki yang ia kagumi, ternyata hanya menyukai sisi 'kuat' miliknya, namun enggan menerima sisi 'lemah' miliknya.

Malam itu, Alex benar-benar hancur. Keluarganya rusak untuk yang kedua kali, begitupun dengan cinta pertamanya.

Ya, kalian tidak salah baca.

Seorang Alex, sudah terjatuh sangat jauh dalam tawaran cinta milik Bramanthya Putra Agung.

s.t.o.i.k

Stoik - ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang