Stoik Bagian 12

158 25 0
                                        

Try out karantina semakin ketat, membuat Alex dan Bram hampir tidak bisa bertemu sebulan penuh. Komunikasi mereka juga tidak berjalan dengan baik karena Bram yang tidak terlalu menyukai telpon dan chat. Belum lagi bunda mereka yang meneror ponsel Alex dan Jo, membuat kedua laki-laki itu jengah.

"Bunda kalian nelpon kalian lagi?"

Sang ayah meletakkan piring berisikan sarapan mereka bertiga. Kedua anak itu tampak lesu, mungkin karena ada ucapan bunda mereka yang tidak mengenakkan hati.

"Hei, hei, sudah dong. Makan dulu yuk," ujar sang ayah.

Ketiga laki-laki itu makan dengan hikmat. Tidak ada percakapan ataupun candaan di pagi hari itu. Sampai mereka tidak sadar jika ada seorang wanita paruh baya yang masuk ke dalam unit apartemen mereka.

"Oh, kamu berani bawa mereka lagi ke sini?"

Kedua anak kembar itu menoleh, sedangkan Arya gelagapan saat melihat wanita itu.

"Bu, aku baru bawa mereka kemarin. Mereka diusir sama Indah kemarin," ujar Arya.

"Apa peduli ibu? Anak-anak kamu ini aja lebih milih perempuan murahan iu daripada kamu. Ngapain kamu harus repot bawa mereka? Biarin aja sekalian jadi gelandangan," ujar wanita tersebut.

"Bu, mereka ga tau apa-apa," elak Arya.

"Ibu ga mau tau Arya. Bawa anak-anak ini keluar. Atau kamu ga akan dapat saham sepeserpun dari ayah," ujar wanita tersebut.

Wanita itu melengang pergi. Menyisakan dua anak yang semakin tertunduk kaku setelah mendengar ucapan wanita yang seharusnya mereka panggil sebagai 'nenek'.

"Nggak usah didengerin ya? Nanti kalau semisal kalian ga boleh di sini, ayah masih ada satu unit di sebelah. Kalian sembunyi disitu aja dulu kalau nenek datang lagi," ujar Arya.

Terakhir kali Jo dan Alex bertemu nenek mereka sekitar delapan tahun yang lalu. Nenek mereka memang dari awal sudah tidak menyukai bunda mereka. Tentu, saat mereka masih kecil, mereka tidak memahami apapun. Namun, karena mereka kini sudah remaja, mereka 'cukup tahu' tentang masalah kedua orangtua mereka.

"Maaf kalau kami merepotkan ayah," ujar Alex.

"Hei, hei. Kalian nggak ngerepotin sama sekali. Mungkin hal-hal seperti ini yang belum bisa ayah antisipasi. Ayah minta maaf," ujar sang ayah.

s.t.o.i.k

Akibat kejadian tadi pagi, selama di sekolah, mood kedua anak kembar itu mengawan. Alex dan Jo berubah menjadi sangat pendiam. Sesekali hanya merespon teman-temannya yang membutuhkan contekan jawaban tugas, tidak lebih.

"Mana sih yang namanya Alex?"

Seorang laki-laki bertubuh jakung dengan empat orang di belakangnya tiba-tiba masuk dan menarik kerah seragam Alex. Seluruh murid disana tidak ada yang berani ikut campur, karena yang masuk adalah salah satu senior di sekolah ini.

"Udah pacaran sama Bram, masih deketin Kevin. Murahan banget,"

Alex menggertakkan giginya. Wajahnya memerah, menahan amarah. Sedangkan Jo berusaha menarik lepas cengkraman senior itu dari kerah adiknya.

"Lepasin, anjing!"

Senior itu meludahi Jo, lalu tersenyum remeh, "Selirnya Raja, diem aja disitu,"

Sapta berusaha mengirim chat, baik ke Raja, Dikta, dan Bram, berharap salah satu dari mereka muncul.

"Ayo dong kak, bales..." gumam Sapta sambil menggigit bibir.

Semua murid sudah menghambur keluar ruangan. Terjadi kericuhan cukup lama di dalam kelas. Mengingat Jo dan Alex memiliki ilmu bela diri, sudah dapat ditebak siapa pemenangnya.

Dikta, Bram, dan Raja datang bersama guru di waktu yang tidak tepat.

Kedua anak kembar itu berhasil melumpuhkan kakak senior yang sudah tergeletak tak sadarkan diri, bersama empat orang lainnya.

"Alex, Yohanes, ke ruang BK sekarang!"

s.t.o.i.k

"Apa kalian tau kalau yang kalian lakuin itu salah? Itu kalau mereka meninggal, kalian mau tanggung jawab?!"

Alex dan Jo menunduk dalam ketika salah satu guru BK mereka memergoki aksi mereka menghajar beberapa senior mereka.

"Apa kalian belajar bela diri untuk memukul orang lain? Jawab!"

Dikta dan Raja hanya bisa terdiam. Bram mengepalkan tangannya dengan erat.

"Maaf, Bu izin menyela. Tapi setahu saya dari Sapta, teman mereka, anak-anak kelas 11 itu tiba-tiba datang dan mencari keributan. Ada baiknya jika ibu dapat melihat dari dua sisi," ujar Bram tiba-tiba.

"Tetap saja, Bram. Perilaku mereka tidak dapat dibenarkan," ujar guru BK itu.

"Lalu---apakah Jo dan Alex harus menunggu sampai babak belur terlebih dahulu, baru bisa disebut korban?" jawab Bram sengit.

Dikta menahan arak gerak Bram yang semakin berani, dengan lirih dia berkata, "Pelan-pelan, Bram. Main cantik aja."

Bram memundurkan satu langkahnya. Guru BK itu tersenyum dan memandang Bram, "Saya tahu rumor tentang kamu Bram. Kamu membela Alex karena dia pacar kamu bukan? Lalu Raja, pacar si Jo. Kalian tahu? Keberadaan kalian sangat tidak dibutuhkan disini," ujar guru BK itu dengan angkuh.

"Senior yang dipukul oleh dua anak ini adalah investor terbesar di yayasan kita. Kamu seharusnya paham, Bram," sambung guru BK itu.

"Ucapkan selamat tinggal untuk olimpiade pertamamu, Alex. Kamu tidak akan mendapatkan apapun. Instropeksi diri kamu dan juga saudaramu itu. Bubar," tutup guru BK tersebut.

Mereka berlima keluar dari ruang BK. Berdiri di depan lorong kelas, seperti orang kebingungan. Bram berusaha menyentuh pucuk kepala Alex, namun sayangnya, Alex menepis uluran tangan Bram.

"Nggak usah ikut campur kak. Bukan urusan kak Bram," ujar Alex sambil melangkah pergi.

Melihat Alex yang pergi begitu saja, Jo langsung menyusulnya. Sebelumnya, ia meminta maaf dan berterima kasih terlebih dahulu kepada Bram.

"Jangan dimasukin hati ya, Kak," ujar Jo kepada Bram.

s.t.o.i.k

Isi kepala Alex sangat berisik.

Sebagian menyalahkan dirinya sendiri dan sebagian yang lainnya kesal karena  dirinya. Setelah menemukan tempat sepi, secara tidak sadar, Alex mencengkram rambutnya sendiri.

"Lex! Lex!"

Alex menggeram. Ia terkejut dengan perasaan sedih dan amarah yang tercampur menjadi satu. Ditambah lagi, dirinya yang tidak pandai mengekspresikan dirinya, membuat posisinya semakin rumit.

"Alex, hei, tenang,"

Jo berusaha menarik kedua tangan Alex agar berhenti menarik rambutnya. Ia dekap tubuh sang adik dengan paksa.

Tubuh Alex bergetar dalam pelukan Jo. Namun perlahan, dapat Jo rasakan, ada sesuatu yang membasahi kemeja seragamnya.

"Sakit, Bang," ujar Alex lirih.

Raja dan Dikta datang. Mereka cukup terkejut ketika melihat Alex yang bergetar seperti orang ketakutan dalam dekapan Jo. Matanya menatap nanar ke segala penjuru, dengan menggumamkan kata-kata 'sakit'.

"Kak Bram kemana?" tanya Jo kepada Raja.

"Dia masih negosiasi sama ayahnya terkait yayasan. Orang sekolah nggak ada yang tau kalo Bram anak dari pemilik yayasan," jawab Raja. "Lagi marah-marah dia," sambung Raja.

"Yang tau cuma kalian berdua?" tanya Jo.

Dikta menghela nafas, "Lebih tepatnya, kami baru tau tadi banget," ujar Dikta.

s.t.o.i.k

Stoik - ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang