Pukul 21.43 KST.
Malam dengan angin yang sepoi-sepoi membuat suasana malam itu menjadi dingin.
Jaemin hanya berjalan pelan di jalanan kota Seoul dengan kepala yang menunduk. Hawa dingin yang menusuk ke kulit membuatnya harus bertahan dengan kedinginan itu karena sialnya dia terlupa membawa jaket.
Malam-malam seperti ini dia sanggup mencari pekerjaan. Hampir semua toko, restoran, toserba, cafe yang dia datangi. Namun, perkara itu sia-sia. Tak ada satu tempat pun yang mengambilnya bekerja.
Alasannya? Hanya satu.
"Maaf, kami tidak bisa mengambil mu bekerja di sini karena kau masih di bawah umur."
Hanya perkataan itu yang didengar. Muak sekali mendengar perkataan itu.
Mungkin mereka berpikir Jaemin adalah anak-anak yang tidak bisa mengerjakan apapun.
Mungkin saja?
Memohon sampai nangis darah sekalipun, mereka tetap tidak akan menerimanya bekerja.
Malang sekali untuk anak seumurnya.
Jaemin hanya bisa menatap kosong jauh ke depan. Entah apa yang ditatapnya.
Ddrrrtttt... ddrrrtttt.
Pandangannya buyar saat ponselnya berbunyi menampilkan nama Haechan di layar ponselnya.
"Yeoboseyo?" Jaemin mengangkat telepon dengan suara yang agak parau.
"Yakk, Jaemin kau ada dimana? Tadi aku ke rumah mu tapi kau sepertinya tidak ada di rumah. Kau kemana saja?"
Terdengar helaan nafas panjang di seberang sana. Sepertinya tidak ada yang baik-baik saja.
"Gwaenchana?"
"Hiks..."
Hanya ada isakan di seberang sana.
"Yakk, Jaemin?! Kau kenapa?! Ada yang menyakiti mu?!"
Ingin sekali Jaemin memberitahu hal yang sebenarnya, tapi entah kenapa lidahnya mendadak kelu.
"Haechan..." Lirihnya.
Sementara disini, Haechan memijit pangkal hidungnya. Entah apa yang membuat Jaemin bersedih sekarang.
"Bertenanglah, ayo ke sungai Han. Aku akan menemui mu sekarang."
Setelah itu, panggilan diputuskan secara sepihak.
Jaemin mengusap air matanya kasar. Mungkin saat ini dia terlihat seperti manusia yang sangat menyedihkan.
Jaemin mengatur langkahnya menuju ke sungai Han.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him || NA JAEMIN
FanfictionDia... Seorang lelaki yang tak pernah merasa secuil kebahagiaan di hidupnya. Dengan kakak sulungnya yang menyalahkannya atas kematian orangtua mereka. Dan kembarannya yang selalu menambah beban di pikirannya. Dia menderita. "Apa hanya aku yang meras...