Azura terjaga dari tidurnya. Rupanya gadis itu pada akhirnya tertidur juga setelah kegaduhan di pikirannya mereda.
Udara dingin mulai masuk ke rongga-rongga kulit, menusuk hingga ke tulang-tulang. Azura menarik selimut hingga pangkal bahu. Berharap dinginnya udara dapat dibendung dengan selimut yang tidak tebal itu.
Ketika hendak memejamkan mata, seketika ingatannya kembali pada saat mereka berkumpul di lapangan kamp militer. Kalimat Letkol Wijaya terngiang di telinganya.
Berbagai pertanyaan muncul di kepala gadis itu. Bagaimana keadaan diluar? Apakah orang-orang asing sudah ditemukan atau belum?Ia segera bangkit dan melangkah menuju jendela. Perlahan membukanya dan mengintip keadaan diluar. Ia tampak hati-hati ketika akan membuka jendela. Pikiran-pikiran aneh mulai muncul di otaknya. Bagaimana jika nanti ia membuka jendela langsung di hadapkan dengan pria asing itu?
Sepertinya tindakannya ini terlalu berisiko. Namun, jika tidak melihat langsung keadaan diluar, akan sampai kapan ia terus menebak apakah keadaan sudah aman atau justru hanya ia dan Naya yang masih tersisa di sana.
Ia memberanikan diri usai meyakinkan dirinya. Menarik napas pelan lalu mengembuskannya. Perlahan daun jendela yang terbuat dari kayu terbuka.
Alangkah terkejutnya ia ketika jendela terbuka nampaklah sosok pemuda yang sedang memegang senjata berdiri tepat di hadapannya.
Baru saja ia hendak menjerit, pemuda itu dengan cepat membekap mulutnya."Jangan teriak. Ini saya." Ucap pemuda yang berseragam loreng. Ah, rupanya Azura tidak menyadari hal itu. Ketakutannya membuat dirinya menjadi tidak fokus. Pemuda di depannya adalah Randi, rekannya Dewa.
"Ah, iya maaf." Ucap Azura setelah Randi menarik tangan kekarnya dari bibir Azura.
"Saya juga minta maaf sudah dengan lancang membekapmu." Ujar Randi kemudian mundur tiga langkah dari rumah yang Azura tinggali.
"Apa semuanya aman?" Tanya Azura pelan.
"Aman, kok. Keluarlah jika ingin beraktivitas. Kami masih akan tetap mengawasi keadaan." Kata Randi kemudian melanjutkan langkahnya mengelilingi kamp.
Padahal Azura ingin bertanya mengenai Dewa. Kapan pemuda itu akan pulang. Namun, sepertinya ia harus mengurungkan niatnya karena Randi kini telah berjalan jauh di depan sana.
Azura melirik Naya yang masih tertidur pulas.
"Jam berapa sekarang?" Gumamnya.
Lantas meraih ponselnya dari atas meja kayu. Pukul 04.30 dini hari. Azura teringat ucapan Dewa kemarin mengenai antrian panjang di sumur ketika mandi. Lantas ia segera membangunkan Naya, mengajak sahabatnya itu untuk mandi selagi belum ada yang antri.
Rupanya tidak mudah membangunkan Naya. Setelah lima menit berlalu, akhirnya gadis itu menggeliat kemudian perlahan membuka matanya.
"Ayo Nay, buruan."
"Hah! Kemana? Ada apa?" Tanya Naya yang masih setengah sadar.
"Ke sumur. Ayo." Ajak Azura lalu menarik pelan lengan Naya. "Buruan!"
"Ada apaan sih di sumur?" Tanya Naya merasa jengkel. Namun, ia justru menuruti Azura menuju sumur.
Suasana diluar masih sangat gelap, namun suara ayam berkokok sudah terdengar. Para tentara pun masih berjaga di tempatnya. Bahkan, aktivitas mereka tetap di awasi oleh anggota militer dari kejauhan.
Di sumur itu ada dua kamar mandi. Satu untuk perempuan satunya lagi untuk laki-laki. Setelah Azura masuk ke kamar mandi perempuan, Naya pun ikut masuk, tetapi di kamar mandi laki-laki. Dari pada kamar mandinya nganggur, jadi di pakai saja. Begitulah pikir Naya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cahaya Sandyakala
General FictionSetulus cahaya sandyakala yang menghiasi angkasa, begitupula cinta yang kumiliki. Menghiasi hidupmu hingga batas waktu yang ditentukan Tuhan. "Aku kembali dengan selamat, sesuai janjiku." -Dewandra Abdi Yudhistira