Bab 20. Rindu yang Terobati

70 10 0
                                    

Hari yang masih gelap, hawa yang begitu dingin menyelimuti tubuh, membuat orang malas untuk bangun dari tidurnya. Ditambah lagi malam tadi turun hujan membuat hawa menjadi lebih dingin.

Namun, pagi yang begitu dingin ini tidak membekukan semangat para tenaga medis yang sudah memulai aktivitas mengecek pasien satu per satu. Azura perlahan duduk dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.

Satu pekan telah berlalu tanpa disadari. Hari ini adalah hari yang teramat sangat dinantikan Azura, hari dimana ia telah di izinkan kembali ke kamp. Kaki kirinya sudah dapat ia gunakan untuk berjalan, meski masih harus tertatih-tatih sebab kakinya belum sembuh benar, bahkan masih sedikit nyeri.

Di tariknya selimut hingga pangkal bahu, meski tubuhnya sudah berada dalam balutan jaket hitam pemberian Dewa, namun rasanya hawa dingin seolah sulit dibendung.

Dilihatnya Naya berjalan ke arahnya sambil menggigil kedinginan. Gadis itu baru saja membasuh wajahnya di kamar mandi rumah sakit.

"Gila, dingin banget. Nggak kuat aku." Ujarnya kemudian duduk di samping Azura, di tekuknya kedua kakinya lantas di peluk.

"Hujan semalam sampai jam berapa, ya?"

Azura melirik jam dinding yang tergantung di dinding tepat di atas pintu masuk IGD. Pukul 04.45.

"Kayaknya baru aja reda hujannya." Jawab Azura.

Naya mengangguk. Lantas mereka mengamati aktivitas tenaga medis yang sibuk memeriksa pasien yang berada di sebelah ranjang Azura. Para pasien militer banyak yang sudah pulang ke kamp empat hari yang lalu, yang tersisa hanya sekitar lima belas orang saja yang mengalami luka tembak yang nyaris menembus jantung. Sehingga membutuhkan perawatan lebih lama dibandingkan anggota militer lainnya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 05.30. Naya mulai membenahi beberapa barang berupa ransel yang berisi pakaian Azura dan perlengkapan kecil lainnya.

"Obatnya di habisin, ya. Saya akan terus memantau kamu lho sampai benar-benar sembuh." Ucap Dokter Diki menyodorkan obat-obatan yang harus diminum Azura.

"Iya dokter. Makasih ya udah ngerawat saya."

"Itu sudah menjadi kewajiban saya, Azura." Ujar Dokter Diki sambil tersenyum hangat pada pasiennya itu. Ia selalu merasa bahagia dikala berhasil menjaga dan merawat pasiennya.

Tiba-tiba seorang pemuda berseragam PDH datang dan masuk ke ruang IGD, melangkah mendekati ranjang Azura, lantas berdiri di samping Azura. Ditatapnya wajah gadis yang sudah sepekan ini selalui mengusik hati dan perasaannya.

Manik hazel milik gadis itu seolah menghipnotisnya, tatapan mata mereka bertahan lama. Saling melabuhkan berjibun kerinduan di hati keduanya. Perlahan seulas senyum merekah di bibir Dewa.

Ya, pemuda itu adalah Dewa. Ia baru saja menyelesaikan masa hukumannya, memutuskan mengunjungi Azura di pagi hari sebelum menghadap Kapten Satriyo untuk memberi laporan.

"Hai." Sapa Dewa masih terus memandangi wajah Azura.

Sepekan tidak bertemu membuat suasana menjadi canggung. Azura tersenyum kaku, tak tahu harus menanggapi sapaan Dewa dengan cara apa.

"Hai juga." Sahut Naya memecah kecanggungan yang tercipta di antara dua manusia yang ada di hadapannya.

Dewa melirik Naya. "Makasih ya, sudah menjaga Azura dengan baik."

Setulus Cahaya SandyakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang