I'm comeback.
Maaf yaa baru bisa update lagi sekarang.
.
Happy Reading!🍁🍁🍁
Senja adalah durasi waktu indah yang mengundang decak kagum. Semburat cahaya sandyakala terukir dengan cantiknya di langit Pulau Lingan, sebagai tanda akan ada pertemuan siang dan malam.Namun, pertemuan waktu itu sedikit mengusik pikiran Azura yang kini sedang berdiri di pintu sambil memandangi cakrawala.
"Sore akan segera bertemu malam tanpa ada halangan apapun. Apakah kita juga akan seperti itu, Dewa? Bertemu tanpa ada gangguan apapun?"
Azura memejamkan mata sejenak, lantas seulas senyum tercetak indah di wajahnya dan kembali menatap semburat jingga di langit.
"Semoga akan ada pertemuan indah antara kita. Tolong jaga dia, Tuhan. Jika bukan untukku, setidaknya untuk Negara ini." Ia bermonolog.
***
Usai menunaikan sholat maghrib, Azura menyadari akan satu hal.
Naya. Ya. Ia belum melihat Naya sejak tadi. Saat ia kembali dari rumah sakit Naya sempat mengatakan akan ke dapur. Namun, hingga saat ini temannya itu belum juga kembali.Azura melangkah keluar rumah dan melihat pemuda militer yang mendekat ke arahnya. Pemuda itu lengkap dengan seragam patrolinya.
"Liat Naya nggak?" Tanya Azura kepada pemuda itu.
"Naya?"
"Ituloh temen saya. Masa gak tahu, sih."
Pemuda itu tampak berpikir sejenak, "Oh, saya ingat. Em, tadi sih saya lihat dia ke arah rumah sakit bersama seorang dokter."
"Dokter? dokter siapa?" Seketika perasaannya menjadi kalut, cemas, panik, bahkan gelisah hadir bersamaan. Bagaimana jika dokter yang dimaksud adalah Dokter Diki yang akan memulai aksinya?
"Seorang dokter laki-laki, saya tidak tahu siapa namanya."
Azura terperanjat. "Pak, boleh bantu saya gak? boleh ya?" Lirihnya.
"I-iya, dek. Tapi, kenapa panik gitu?"
"Aduuh, saya gak bisa jelasin di sini ceritanya panjang. Sekarang, temenin saya dulu nyari temen saya. Ayo." Desak Azura segera berjalan tanpa menunggu pemuda itu. "Ayo."
Pemuda itupun mengekori Azura dari belakang. Namun, seseorang menghentikan langkah Azura.
"Eza?"
"Ada apa kok terburu-buru?" Tanya Eza.
"Ini loh, Za. Temanku dibawa sama Dokter Diki. Aku khawatir sama keselamatannya."
Dulu- sebelum kejanggalan mengenai Dokter Diki muncul, Azura menganggap dokter itu sebagai teman baiknya. Namun, setelah kejadian malam itu membuat Azura menjadi tidak tenang bahkan tingkat kewaspadaannya terhadap dokter itu meningkat.
"Kalau begitu ayo kita segera mencari temanmu. Ayo." Seru Eza segera menarik pelan lengan Azura menuju rumah sakit.
Mereka menapakkan kaki di jalan bebatuan menuju rumah sakit. Seperti biasa rumah sakit itu tampak sepi. Cahaya redup lampu di depannya masih cukup memperjelas cat dinding yang mengelupas.
Dari kejauhan terlihat Cici sedang tergesa-gesa menghampiri Azura.
"Ada apa, Kak? Kok buru-buru gitu." Tanya Azura.
"Aku mau ngomong sesuatu." Bisiknya lantas mengajak Azura sedikit menjauh dari Eza dan pemuda militer yang satunya.
"Naya."
"Hah? Na-Naya kenapa kak?" Tanya Azura terbata-bata.
"Dia masuk ke ruangan Dokter Diki. Aku memang belum tau kenapa Dokter Diki mengajaknya ke ruangannya. Tapi, dengan apa yang terjadi sekarang, wajar 'kan kalau kita sedikit berpikir negatif?" Tutur Cici.
Benar. Berbagai masalah yang hadir beberapa waktu terakhir mampu meredam pikiran positif mereka.
Terkadang, ketika telah berusaha untuk terus berpikir positif, kita juga berusaha untuk mencari alasan tertentu yang membuat kita merasa tenang dan nyaman. Tanpa disadari, hal ini bisa menurunkan tingkat kewaspadaan.
Lain halnya dengan orang yang terbiasa berpikiran negatif. Mereka akan lebih aware dengan lingkungan sekitar dan tanda bahaya, sehingga akan lebih waspada ketika bertindak atau mengambil keputusan.
"Terus gimana, dong? Kita enggak bisa diam saja di sini. Kita harus menjemput Naya."
"Tenang dulu, Nay." Ujar Eza yang kini melangkah mendekati kedua gadis itu.
"Dia tau?" Bisik Cici.
"Iya, Kak. Aku menceritakan semuanya padanya. Karena bagaimanapun, mereka yang akan membantu kita di sini."
Cici mengangguk paham.
"Bagaimana kalau kamu saja yang masuk ke dalam. Karena kamu yang setiap hari ada di rumah sakit, supaya dokter itu tidak curiga." Ujar Eza kepada Cici. "Kita bakal ngawasin kamu dari sini."
"Oke, baiklah."
"Hati-hati, Kak." Ucap Azura.
Cici melangkah kembali masuk ke dalam rumah sakit, sesekali ia menengok ke belakang memastikan apakah Eza dan lainnya benar-benar mengawasinya. Ia merasa bahwa apa yang mereka lakukan saat ini beresiko. Jadi, mereka harus saling mengawasi dan menjaga satu sama lain.
Setelah memastikan keberadaan Eza dan lainnya, ia kembali melanjutkan langkahnya.
Alangkah terkejutnya ia melihat Naya yang keluar dari ruang Dokter Diki seorang diri.
Cici segera berlari mendekati gadis itu. Tetapi sepertinya, gadis itu nampak baik-baik saja.
"Kak Cici, ada apa?" Tanya Naya.
"Kamu baik-baik saja 'kan?" Tanya Cici khawatir.
"Iya. Ada apa?"
"Ikut aku." Ucap Cici, lantas segera mengajak Naya pergi dari sana.
Cici membawa Naya menemui Azura dan Eza. Mereka harus menjelaskan semuanya kepada Naya, agar gadis itu berhati-hati. Untung saja tidak ada sesuatu yang buruk terjadi pada Naya.
Tapi, apa mungkin mereka saja yang terlalu berpikir negatif terhadap dokter itu? Buktinya, Naya terlihat baik-baik saja.
Ah, tetap saja mereka harus memberitahukan hal itu kepada Naya, agar Naya lebih berhati-hati lagi.
"Hah?! Ka-kalian serius?" Naya terlonjak mendengar segala penuturan Azura mengenai dokter itu.
🍁🍁🍁
Seneng banget akhirnya aku bisa up lagi.
Maaf ya karena sudah membuat kalian terlalu lama menunggu.Semoga tetap suka ya<3
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cahaya Sandyakala
General FictionSetulus cahaya sandyakala yang menghiasi angkasa, begitupula cinta yang kumiliki. Menghiasi hidupmu hingga batas waktu yang ditentukan Tuhan. "Aku kembali dengan selamat, sesuai janjiku." -Dewandra Abdi Yudhistira