Vote, vote, vote, vote!
Happy Reading!
🍁🍁🍁
"Kapan ya kita bisa aman lagi tinggal di sini?" Gumam Naya.
Gadis itu menyendarkan kepalanya di jendela, sambil mengamati para serdadu yang sedang lalu lalang di sekitar kamp. Dilengkapi senjata yang tidak pernah terlepas dari genggaman mereka.
Azura yang sedang membaca menoleh, gumaman Naya masih dapat ditangkap oleh telinganya. Perlahan ia melangkah mendekati sahabatnya, ikut mengamati para serdadu di depan sana.
"Entahlah, Nay. Melihat mereka bertugas membuat aku khawatir."
Naya melirik sahabatnya. "Apa yang kamu khawatirkan, Ra?"
"Aku khawatir jika penjahat-penjahat itu punya mata-mata."
"Hah? Beneran?" Naya terkejut dengan ucapan yang dilontarkan sahabatnya.
Azura terdiam sejenak sambil mempertimbangkan satu hal. Mengenai Dokter Diki tadi belum ia ceritakan pada sahabatnya. Lagipula untuk saat ini, ia belum dapat menyimpulkan kejadian yang belum jelas kebenarannya.
Tiba-tiba saja, seorang pemuda datang mengejutkan mereka. Pemuda berseragam loreng berdiri tepat di hadapan mereka.
"Ngagetin aja sih." Protes Naya.
"Maaf sudah mengagetkan kalian."Ujar pemuda militer.
"Ada apa?" Tanya Azura.
"Tutup pintu dan jendela kalian dengan rapat. Kalau mau keluar rumah atau pergi ke sumur, kami siap menjaga dan mengawasi kalian. Tolong kerja samanya." Pungkas pemuda TNI.
"Apa penjahat-penjahat itu balik lagi kesini, pak?" Tanya Naya.
Alih-alih menjawab, pemuda TNI justru pamit undur diri. Seperginya pemuda TNI, Azura dan Naya saling berhadapan penuh pertanyaan. Segera Azura menarik daun jendela dan menutupnya.
Di ajaknya Naya duduk di ranjang masih dengan ekspresi kekhawatiran yang mulai menjalar dalam benak mereka.
"Ra, kayaknya penjahat itu balik lagi, deh."
Azura frustasi, sejak awal mereka tiba di pulau, sudah disambut dengan insiden yang disebabkan oleh ambisi para komplotan penjahat. Bahkan dirinya dijadikan sandera, mengalami luka tembak yang sakitnya sungguh diluar nalarnya. Bahkan, disaat luka tembaknya pulih, insiden seakan berulang.
"Entahlah, Nay. Aku benar-benar nggak bisa menebak apa yang akan terjadi nanti." Ucap Azura.
Suaranya melemah, segala peristiwa yang terjadi di sini sungguh diluar ekspektasinya. Bahkan, tidak jarang ia mengeluh dan menjerit ingin kembali ke rumahnya. Namun, kehadiran Dewa membuat semangatnya kembali terusulut. Terlebih dirinya ingin menanti kepulangan Dewa dari dalam hutan. Ia benar-benar ingin memastikan keselamatan pemuda itu.
***
"Pagi, Azura."
Azura yang sedang menjemur pakaian di samping rumah menoleh. Mendapati si pemilik suara yang menyapanya tadi sedang tersenyum ke arahnya.
"Pagi juga, dok." Ucap Azura. "Ada apa, dok? Tumben pagi-pagi udah ke sini."
Dokter Diki terkekeh pelan, "Saya mau ke dapur, cuman nggak sengaja liat kamu lagi menjemur pakaian, jadi saya memutuskan untuk ke sini dulu."
Azura mengangguk sambil ber'oh ria.
"Hari ini libur ya, Ra?"
"Iya."
"Ada acara nggak?"
"Nggak ada. Kenapa dok?" Tanya Azura masih berkutat dengan beberapa pakaian lagi yang belum ia jemur.
"Mau ke pantai nggak?"
Pertanyaan Dokter Diki membuat Azura menoleh. Melirik Dokter Diki yang sedang tersenyum penuh harap.
"Nggak, dok. Saya mau di rumah aja. Lagian, tentara-tentara itu udah mengingatkan untuk nggak kemana-mana dulu beberapa hari ke depan."
"Em... emangnya alasannya apa ya, Ra?" Tanya Dokter Diki.
"Saya juga nggak tahu apa alasannya. Tapi kayaknya masih ada hubungannya dengan penjahat beberapa waktu lalu." Jawab Azura, lantas menyelesaikan jemuran terakhirnya.
Ia menoleh pada Dokter Diki yang kini diam mematung, entah apa yang sedang mengganggu pikiran dokter itu pagi-pagi begini.
"Dok." Panggil Azura.
Dokter Diki tersentak, lantas tersenyum simpul. "Iya, Ra. Aduuh, saya hampir lupa. Hari ini saya mau pergi ke rumah warga, mau periksa kondisi pasien di sana. Saya pergi dulu ya, Ra." Ujar Dokter Diki. Namun, belum sempat ia melangkah ia kembali berbalik lalu menatap Azura.
"Jaga dirimu baik-baik, Ra. Jangan sampai kecolongan kayak waktu itu." Dokter Diki mengingatkan. Insiden penculikan tempo hari masih tersimpan jelas di benak para relawan maupun TNI.
Azura mengangguk. "Iya, dok." Sahut Azura sambil mengamati Dokter Diki yang kini sudah berjalan menuju pemukiman.
Seperginya Dokter Diki Azura kembali ke dalam rumah, bersamaan dengan kembalinya Naya dari dapur sambil membawa nampan berisi makanan.
Mereka duduk di lantai sambil menyantap makanan seadanya itu. Dua mangkuk mie dilengkapi dengan sosis dan juga sedikit sayuran.
"Udah dapat kabar belum dari si pak Tentara?" Tanya Naya tiba-tiba.
Alih-alih menjawab, Azura justru balik bertanya, "Oh iya, mereka kapan baliknya ya? Aku jadi khawatir."
"Belum ada kabar?" Tanya Naya sekali lagi.
Azura menggeleng. Setelah Dewa pergi ke hutan, ia belum mendapatkan kabar dari pemuda itu. Tak tahu apakah tugas yang dijalankan lancar ataukah tidak. Sudah beberapa hari di dalam hutan, apakah mereka makan atau tidak. Entah bagaimana kondisi kesehatan pemuda itu. Apakah Dewa masih hidup? Atau...
Azura menggeleng berkali-kali. Pikiran-pikiran aneh mulai hadir di benaknya, pemuda itu kini telah membebani hati dan pikirannya.
"Semoga dia baik-baik aja." Gumamnya.
______^_^______
Maaf banget part ini pendek, hiks.
Semoga ttp suka ya.
Next>>>
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cahaya Sandyakala
General FictionSetulus cahaya sandyakala yang menghiasi angkasa, begitupula cinta yang kumiliki. Menghiasi hidupmu hingga batas waktu yang ditentukan Tuhan. "Aku kembali dengan selamat, sesuai janjiku." -Dewandra Abdi Yudhistira