Bab 23. Sekutu

66 7 0
                                    

Maaf ya baru up.
.
Jangan lupa di vote ya readlov
.
Happy reading<3

_____^_^_____

Keindahan fajar di langit Pulau Lingan tak pernah dilewatkan oleh para relawan dan anggota militer selama bertugas di pulau itu. Mereka memanfaatkan setiap detik waktu yang bergulir untuk menikmati indahnya panorama yang disuguhkan alam di Pulau Lingan.

Empat hari telah berlalu. Di bawah indahnya cahaya fajar, para relawan kini sedang mengantre untuk mandi. Sementara para anggota militer yang berada di seberang, mereka juga tak kalah sibuknya dengan aktivitas mereka masing-masing. Seperti biasa, para anggota militer itu berbagi tugas, ada yang menyapu membersihkan lingkungan sekitar, ada pula yang sedang menjemur pakaian seluruh anggota yang ada. Sebentar lagi anggota-anggota militer itu akan lari pagi di sekitar mengitari kamp dan perkampungan warga. Azura dan Naya baru saja selesai mandi dan melenggang menuju rumah.

Nyeri di kaki kiri Azura sudah berkurang, sekarang sudah dapat ia gunakan untuk berjalan sebagaimana biasanya. Terlebih janji yang diucapkan Dewa untuk mengajaknya jalan-jalan membuatnya semakin antusias untuk sembuh, pun menjadi stimulus baginya.

Usai mengenakan pakaian dan sholat subuh, kini dua guru muda itu akan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Azura sudah tidak sabar lagi ingin segera bertemu dengan anak-anak didiknya. Gadis itu berdiri di halaman rumah, menunggu sahabatnya yang sedang mengunci pintu.

Sang Mentari telah menampakkan dirinya, ocehan burung terdengar nyaring dengan indahnya. Pagi ini seperti biasa, para relawan maupun anggota militer memulai aktivitasnya.

Dari arah rumah sakit, sekelompok anggota militer yang sedang lari pagi itu kini berlari-lari kecil ke arah kamp. Mereka telah menyelesaikan tiga putaran. Seperti biasa, dua sahabat itu tidak ingin melewatkan pemandangan yang hanya dapat ia saksikan sekitar dua bulan lagi.

Seorang pemuda dengan ekspresi datar sangat menggoda kejailan Naya disaat sekelompok pemuda abdi negara itu kini akan melintas di depan mereka.

“Pagi-pagi udah jutek aja sih, pak.” Celetuk Naya ketika Randi melintas di hadapannya. Namun, pemuda itu masih dengan ekspresi datarnya dan lewat begitu saja tanpa menoleh sedikit pun pada gadis yang menggodanya tadi.

Azura menoleh. Sahabatnya itu cukup nekat juga menjaili orang yang baru saja mereka kenal. Bertahun-tahun bersahabat, rupanya sahabatnya itu semakin random saja tingkahnya.

Dewa berada di barisan paling belakang, ia berhenti  tepat di hadapan Azura. Sementara anggota militer lainnya terus berlari-lari kecil menuju kamp militer. Dewa mengamati wajah Azura. Gadis itu masih menoleh kearah kamp militer, mengikuti arah pandang sahabatnya.

“Apa aku kalah ganteng ya dari mereka?” ujar Dewa tiba-tiba, membuat kedua gadis itu terlonjak.

“Astaga, ngagetin aja sih.” Gerutu Azura.

Dewa terkekeh, “Liatin apa sampai serius banget gitu, hm?”

Azura menggeleng. “Nggak ada.”

“Udah mau bertugas?” tanya Dewa dan dijawab dengan anggukan oleh Azura.

Dewa tampak berpikir sejenak, lantas menatap wajah imut gadis yang ada di hadapannya. “Kamu mau ngajarin aku nggak?”

Fita mendongak menatap manik pemuda itu. “Ngajarin apa?”

“Ngajarin supaya pantas buat kamu.” Ujar Dewa sambil tersenyum simpul tanpa melepas pandangannya dari Azura.

Rupanya pemuda itu sangat pandai membuat hatinya bersorak riang, namun semampu mungkin ia tidak menunjukkan rasa canggungnya. Tetapi rona merah di pipinya tak mampu ia sembunyikan, semakin membuatnya begitu menggemaskan di mata Dewa.

Azura menjeling ke arah Dewa. “Gombal.” Gumamnya.

Dewa terkekeh pelan. “Selesai kamu bertugas kita jalan-jalan.” Pungkas Dewa sembari tersenyum lantas berlalu dari hadapan Azura.

Dewa bergabung dengan anggota militer yang melanjutkan olahraganya di tengah lapangan. Sementara dua gadis tadi telah melangkahkan kaki menuju sekolah yang berada dekat dengan pemukiman warga.

***

Dua pemuda berpangkat Letnan Satu atau Lettu andalan Kapten Satriyo, Dewa dan Randi. Berdiri di posisi terdepan dalam barisan anggota militer di dalam barak. Di hadapan mereka, Kapten Satriyo berdiri Bersama Komandan Batalyon, Letkol Inf Wijaya hadir pada siang itu.  Para anggota militer itu berbaris di dalam barak dan berdiri tegap di depan velbed.

Komandan Batalyon yang kerap kali disapa Danyon, mengamati wajah anggotanya satu persatu.

“Kalian telah berhasil meringkus komplotan penjahat hanya dalam waktu singkat. Kalian sudah sangat berjasa dalam keamanan di pulau ini. Jadi, saya ingin memberikan waktu untuk kalian melakukan “camping” di hutan dan pesisir Pantai. Silakan kemasi barang-barang kalian dan segera berangkat.” Pungkas Letkol Wijaya, kemudian segera meninggalkan barak.

Seperginya Letkol Wijaya, para anggota militer tertunduk lesu. Kata “camping” yang dilontarkan Letkol Wijaya adalah perintah dan tugas yang dibalut indah dengan kata “camping” untuk menilai, apakah anggota militernya akan terbuai ataukah tidak.

Dewa menatap Kapten Satriyo. “Izin, kapt. Apa yang terjadi sebenarnya?”

“Berita mengenai penjahat yang kalian ringkus telah sampai di telinga sekutu mereka.”

Dewa terbelalak, ia cukup terkejut dengan apa yang dikatakan Kapten. “Mereka punya sekutu?”

Pria berusia sekitar 30-an tahun itu mengangguk. “Mereka adalah kelompok besar yang ingin menguasai pulau ini. Menurut informasi yang di sampaikan intel, sekutu penjahat itu akan menyerang pulau ini, memaksa merebut Pulau Lingan. Kita harus mencegah hal itu.”

“Kapan mereka akan tiba?” tanya Dewa lagi.

“Belum dapat dipastikan kapan mereka akan memulai aksinya, namun yang pasti, kita akan mengerahkan pasukan di berbagai titik untuk mencegah mereka masuk di pulau ini.” Ujar Kapten Satriyo.

“Kita akan bergabung dengan TNI AL dan TNI AU, karena penjagaan tidak hanya dilakukan di darat, namun di laut juga. Sedangkan TNI AU, mereka akan mengintai melalui udara. “Lanjut Kapten Satriyo. “Ada yang mau ditanyakan lagi?”

“Izin bertanya, Kapt.” Sahut Tio.

“Ya, silakan.”

“Kalau kita semua yang ada di sini pergi bertugas, siapa yang akan stay di kamp, Kapt?”

“Enam puluh pasukan tambahan dari Yonif sudah dalam perjalanan, mereka yang akan menjaga keamanan di sini. Kalau sudah tidak ada pertanyaan, silakan kemasi barang kalian.” Pungkas Kapten Satriyo lantas melenggang keluar tenda.

Randi melirik Dewa yang masih mematung di tempatnya, tatapan matanya nanar. Sebagai prajurit, pemuda itu tentu saja tidak akan menolak perintah. Namun, janji yang ia ucapkan pada Azura pagi tadi, membuat hatinya buncah. Ia tidak ingin mengingkari janji yang kedua kalinya pada gadis itu. Dilematis mulai menyerang hati dan pikirannya, rasanya ia tak sanggup jika harus membuat gadis itu kecewa. Ia mengusap wajahnya gusar.

“Aku yakin pasti dia bisa memahami keadaanmu, Pot. Percayalah.” Ucap Randi menenangkan sahabatnya. Ia paham betul atas apa yang dipikirkan Dewa.

“Kemasi barang-barangmu.” Seru Randi dan dibalas dengan anggukan oleh Dewa.

Barang-barang yang dimaksud bukanlah berupa pakaian atau perlengkapan lainnya, namun justru peralatan perang.

“Perang yang sebenarnya akan dimulai.” Gumam Dewa. Namun, gumamannya terdengar jelas di telinga para anggota militer yang ada di dalam barak saat ini.

________^_^________

Nggak ada yang mau kasih saran ini? Aku penulis pemula, pngen juga gitu dibenerin karena aku merasa ceritaku ini kayak absurd gitu.

Setulus Cahaya SandyakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang