Vote!
Happy Reading
🍁🍁🍁
Seulas senyum sarkas menghiasi wajah sang Letnan Satu usai menerima laporan dari prajurit pengintai. Siapa lagi kalau bukan Dewandra Abdi Yudhistira.
Sang komandan yang memimpin pasukannya untuk memberantas komplotan penjahat yang dipenuhi ambisi untuk merebut Pulau Lingan. Berani merampas hak milik negara harus berhadapan dengan para kesatria negara.
Sementara di kamp, prajurit yang diutus Dewa kini sedang berdiri di hadapan Mayor Indra.
"Lapor, Mayor. Komplotan itu sudah terpantau telah menuju Pulau Lingan, dan semua pasukan telah berada di posisi masing-masing." Lapor Tio pada Mayor Indra. Ya, Prajurit yang diutus Dewa adalah Tio, rekan seangkatannya.
"Baik. Lakukan sesuai rencana."
"Siap. Tapi, masih ada satu laporan lagi dari tim pengintai."
"Soal apa?"
"Kami mencurigai mereka memiliki mata-mata di sini." Jawab Tio sembari menurunkan volume suaranya.
"Atas dasar apa kecurigaan kalian itu?" Tanya Mayor Indra.
Tio menelan saliva. Karena sebetulnya pada malam itu, Dewa diam-diam menyelinap masuk ke area kamp. Tidak hanya ingin mengetahui kabar si guru muda-nya, ia juga ingin melihat dengan mata sendiri keadaan warga. Ia takut jika sampai terjadi kecolongan seperti tempo hari. Setelah tiba di dekat kamp, siapa sangka ia menemukan satu hal yang memicu rasa curiganya.
Namun, pada saat itu Dewa bergerak tanpa sepengetahuan atasannya. Jadi, apakah hal ini perlu diberitahukan kepada si Mayor? Apakah tidak akan menimbulkan masalah bagi Dewa jika Mayor Indra mengetahui kebenarannya? Apakah Tio harus menutupi perbuatan sahabatnya? Saat ini Tio seperti sedang berada di ujung tanduk.
***
Azura telah siap berangkat untuk menunaikan tugasnya di Pulau Lingan. Kerudung dan kemeja hitam polos di padukan dengan rok jeans berwarna biru. Sebuah ransel hitam pun tersampir indah di pundaknya. Usai merias wajah, ia duduk di ranjang untuk memakai kaus kaki dan sepatu putihnya.
Naya masuk ke dalam rumah setelah selesai menjemur pakaian. Lantas menghampiri Azura yang telah selesai mengenakan sepatu yang kemudian dilanjutkan berkutat dengan ponselnya.
"Ra, kok aku ngerasa agak lain, ya." Ujar Naya.
"Otakmu kali." Celetuk Azura yang masih sibuk dengan ponsel.
"Seriusan, Ra."
Azura memasukkan ponselnya ke dalam saku rok, lantas melirik sahabatnya. "Ada apa, sih?"
"Itu, loh. Tentara-tentara itu."
"Mereka kenapa?"
"Tadi pas jemur pakaian aku lihat mereka kayak lagi serius gitu. Aku nggak tahu mereka lagi bahas apa, tapi menurutku ada hal yang serius yang bakalan terjadi di sini nanti."
"Serius?
Naya mengangguk. Lantas kedua guru muda itu melangkah menuju pintu dan berhenti di ambang pintu. Menoleh ke arah kamp militer untuk melihat situasi yang terjadi di sana. Netra keduanya menemukan kesunyian di sekitar kamp. Hanya ada sekitar lima orang saja yang berjaga di luar barak.
"Kok sepi?"
"Entahlah, Ra. Padahal tadi mereka masih ada di lapangan loh." Ujar Naya.
"Udahlah, ayo. Kita ke sekolah aja." Ajak Azura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cahaya Sandyakala
General FictionSetulus cahaya sandyakala yang menghiasi angkasa, begitupula cinta yang kumiliki. Menghiasi hidupmu hingga batas waktu yang ditentukan Tuhan. "Aku kembali dengan selamat, sesuai janjiku." -Dewandra Abdi Yudhistira