"Dokter!" Seru Dewa begitu kakinya melangkah masuk ke rumah sakit.
Suaranya menggema di ruangan rumah sakit mengundang perhatian para tenaga medis yang ada di sana.
"Dokter!" Serunya sekali lagi. Gadis yang ada di dekapannya sudah tidak sadarkan diri membuat kepanikannya kian bertambah, sementara nyeri di perut kirinya mulai terasa.
Sekuat mungkin ia menyeimbangkan posisi tubuhnya karena nyeri di perut yang terasa begitu menyakitkan. Dipandangnya wajah Azura yang mulai pucat, lalu memeriksa denyut nadi gadis itu. Semakin melemah. Dewa merasakan dunianya terasa akan runtuh melihat kondisi Azura. Bulir air mata perlahan jatuh dari pelupuk matanya, namun segera di usapnya sebelum ada yang melihat.
"Apa yang terjadi dengannya?" Tanya Dokter Diki yang juga terlihat panik melihat pasiennya yang ternyata adalah Azura.
"Kakinya tertembak. Dia pingsan sudah hampir 10 menit yang lalu. Denyut nadinya melemah. Tolong selamatkan dia, Dokter." Ucap Dewa lirih, namun tidak menyembunyikan ketegasan dari intonasi pengucapannya.
"Baik, pak. Kami akan melakukan yang terbaik untuknya." Sahut Dokter Diki. "Segera bawa di IGD dan periksa tanda vitalnya." Ujar Dokter Diki memerintah perawat yang ada.
Azura kini telah dipindahkan di atas brankar oleh dua orang perawat, dibawa menuju IGD untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Sore itu, rumah sakit yang tidak luas kini dipenuhi oleh anggota militer dan juga anggota polisi yang mengalami luka tembak. Sementara para komplotan musuh telah dibawa oleh anggota gabungan TNI POLRI yang tidak terluka menuju kamp militer, kemudian akan dibawa ke rumah sakit bhayangkara yang terletak di kota untuk menjalani pengobatan sambil diawasi oleh kepolisian. Nanti, setelah mendapatkan pengobatan, para komplotan musuh itu akan ditindaki oleh pihak yang berwajib.
Azura telah mendapatkan pengobatan, vitalnya sudah kembali normal. Peluru di kakinya berhasil dikeluarkan meski tidak di bedah di ruangan operasi. Karena, rumah sakit itu hanya memiliki satu ruang operasi saja.
Dewa telah berbaring di atas ranjang operasi dan telah diberikan obat bius. Keterampilan tangan Dokter Bedah mampu membuat Dokter Diki yang bertindak sebagai Dokter Anestesi berdecak kagum. Cepat dan tepat.
Sementara dari luar gedung rumah sakit, seorang gadis sedang berlari menuju rumah sakit.
"Azuraaaa!" Seru Naya begitu tiba di rumah sakit. Ia berlari sekencang mungkin menuju IGD tak sabar ingin tahu kondisi sahabatnya.
Ia diberitahu oleh Randi ketika pemuda itu melintas di depan kamp relawan sambil menyeret salah seorang komplotan musuh. Tanpa pikir panjang, Naya segera berlari menuju rumah sakit.
Suaranya yang melengking membuat atensi para pasien yang notabenenya adalah para abdi negara menoleh padanya. Mereka menjalani pengobatan secara bergilir karena jumlah tenaga medis yang ada tidak sebanding dengan jumlah pasien yang datang bersamaan sore itu.
Bahkan beberapa dari mereka, perut maupun kaki dan juga anggota tubuh lainnya yang terkena tembakan harus disayat tanpa obat bius. Karena sudah habis oleh pasien-pasien yang tergolong dalam pasien gawat darurat disebabkan peluru yang nyaris menembus jantung.
Naya tiba di ranjang Azura. Ia menilik setiap inci wajah sahabatnya yang masih terlelap dipengaruhi efek obat bius yang belum habis.
"Ya, ampun Ra. Kamu yang kuat ya, cepat sembuh. Aku kesepian tahu, emang nggak kasihan sama sahabatmu yang comel sangat ini." Ucap Naya lirih berharap sahabatnya dapat segera membuka mata.
"Orang sakit malah diomeli." Sahut Cici menghampiri mereka.
"Dia kapan bangun sih, kak?"
"Sebentar lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cahaya Sandyakala
Ficção GeralSetulus cahaya sandyakala yang menghiasi angkasa, begitupula cinta yang kumiliki. Menghiasi hidupmu hingga batas waktu yang ditentukan Tuhan. "Aku kembali dengan selamat, sesuai janjiku." -Dewandra Abdi Yudhistira