3

1.4K 41 1
                                    

Malam itu Faza tak bisa tidur. Kemudian ia berbalik dan menatap wajah ayahnya yang tidur di bawah kasurnya. Ia pandangi wajah bule itu, memang kalau diperhatikan dengan seksama ia merasa ada kemiripan. Ayahnya berhidung mancung dan bibir yang tipis, di dekat matanya ada tahi lalat kecil dan rambutnya berwarna coklat. Rahangnya kuat dan lancip, sama persis seperti Faza.

Ingin sekali Faza menyentuh wajah itu tapi ia takut membangunkan ayahnya, akhirnya ia kembali berbalik badan dan sebisa mungkin untuk segera tidur.

Paginya.

Ayahnya sedang memanaskan mobil saat Faza memasukan beberapa barang miliknya. Ada lumayan banyak barang yang Faza bawa, termasuk satu dus berisikan piala-piala hasil kerja kerasnya dibidang pendidikan dan sastra.

"Itu dus apa?" tanya ayahnya.

"Piala," ujar Faza.

"Wah, sepertinya akan semakin banyak piala di lemari kaca rumah kita," ujar ayahnya sambil menepuk punggung Faza.

Setelah semua barang telah dimasukan. Mereka pun pergi meninggalkan rumah itu. Tante Leni melambaikan tangannya ke Faza, ia hanya membalas sesaat kemudian menutup pintu mobil. Tante Leni memang baik, bahkan sangat baik, hanya saja ketika teringat kejadian saat sedang membicarakan Faza, seolah-olah semua kebaikannya sirna. Faza diam seribu bahasa setelahnya.

"Kau tidak akan pamitan kepada teman-temanmu?" tanya ayahnya saat mereka tiba di depan sekolah Faza.

Faza menggeleng, kemudian ayahnya keluar dari mobil untuk memberitahukan kepada pihak sekolah perihal kepindahannya.

Sekitar satu setengah jam kemudian ayahnya masuk ke dalam mobil.

"Baiklah, sekarang saatnya kita berangkat!" ucap ayahnya antusias.

Mobil itu pun melaju. Faza hanya diam menatap ke samping, dan saat ia melihat spion mobil ia melihat seseorang berlari dan Faza langsung membuka kaca mobilnya dan menengok ke belakang. Vika. Vika berlari mencoba untuk mengejak mobil, tapi mobil terus melaju.

&&&

Bel berbunyi.

Vika menyimpan tasnya di meja tempat Faza duduk, tapi ia masih belum melihat Faza, padahal bel sudah berbunyi. Tak lama Zeno menghampiri Vika.

"Vik, kenapa duduk di sini?"

Vika tidak menjawab, ia membuka tasnya dan mengambil buku.

"Vik, kamu masih marah karena masalah kemaren?"

Vika masih diam dan mengambil kotak pensilnya.

Zeno nampak kesal diacuhkan begitu oleh Vika kemudian ia menarik tas Vika dan membawanya.

"Zeno apa-apaan sih?" Vika berdiri sambil berlari mengambil tasnya.

"Kamu kenapa sih? Masih marah gara-gara kejadian semalem? Aku kan udah minta maaf!"

"Kamu jangan minta maaf sama aku, tapi minta maaf sana sama Faza. Mau gimana juga dia, Faza itu tetep temen aku! Sebelum aku kenal sama kamu, aku udah kenal lebih lama sama Faza. Kalau kamu mau deket sama aku, kamu juga harus deket sama temen-temenku!" ucapnya sambil mengambil tasnya kembali dan duduk.

Zeno menghampiri Vika.

"Iya, iya, nanti kalo Faza dateng aku bakalan minta maaf sama dia. Jadi kamu udahan dong marahnya, masa cewek cantik kayak kamu marah, sih?" gombalnya.

"Ehm... gombal!" ujar temannya yang sedari tadi memerhatikan drama percintaan itu. Zeno melirik sambil tersenyum ke arah teman-temannya.

"Yuk, duduk di sana lagi?" pinta Zeno dengan lembut.

GrappleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang