💫 Episode 7_

275 21 6
                                    


...

Jisung menjadi kepikiran dengan jawabannya sendiri dari pertanyaan tak jelasnya Daehwi tadi sore.

Sampai di dalam kamarnya, Jisung langsung menghempaskan tubuhnya dengan tengkurap sembari memejamkan mata. Pikirannya melayang-layang atas jawabannya sendiri.

Bagaimana tidak kepikiran jika bersangkutan dengan dua manusia yang sifatnya bertolakbelakang, lagi pula Jisung menjawab pertanyaan tersebut karena memang ia sangat kesal dan benci terhadap manusia yang bernama Jaemin Prasetyo Abimanyu itu.

Dan kenapa Jisung memilih Jeno, karena ia berpikir akan lebih baik ia memilih manusia kalem dan tenang itu dibanding dengan manusia setengah setan.

Jisung pun langsung mengubah posisi tidurnya menjadi telentang dengan menatap langit-langit kamarnya sembari menerawang, mengingat sesuatu yang ia lupa di hidupnya.

"Jeno ya? Kayak ga asing namanya, tapi agh! Yang pasti bukan dia mungkin. Lagian udah lama juga dan pasti dia masih ada disono, kalo pun dia masih inget gua ya pulang bukan betah di negara orang!" Gumam Jisung kesal dengan seseorang.

"Huffttt! Mending gua bersih-bersih dan cari makanan di bawah, siapa tau ada makanan buat isi perut." Bangkitnya dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.



***



Di tempat lain...

Kamar Jeno's🐶

Papan nama diatas pintu itu bergerak karena sang pemilik kamar masuk ke dalam yang baru saja sampai rumah dan ia menyapa sang ibu lebih dulu tadi di bawah ruang tengah.

Meski ia sangat kesal dengan sikap sang ibu yang terus memaksanya masuk ke dalam industri hiburan dan dunia per-akting-an.

Jeno merasa itu bukan dunianya yang ia mau, namun itu semua hanyalah paksaan dari sang ibu yang selalu bersikeras membawa dirinya ke dalam dunia sang ibu.

Jika saja ada sang ayah, pasti beliau akan selalu ada yang membelanya dan memberitahu pada sang istri bahwa sang anak bisa memilih keinginan dan dunianya.

Sayangnya, sang ayah sedang sibuk di negara Paman Sam tersebut. ia lebih baik ikut bersama sang ayah ke sana dan belajar yang ia mau meski sang ayah akan jarang pulang ke rumah daripada dipaksa terus menjadi seorang aktor muda oleh ibu meski karir Jeno sekarang sedang naik daun meski ia tak menyukai itu semua.

Jeno berjalan lesuh ke dalam kamar dan menghempaskan tubuhnya begitu saja ke kasurnya.

Ia sudah lelah dengan paksaan sang ibu. Dan yah, ia tadi di bawah memang menyapa sang ibu namun, ia mendengar ucapan sang ibu.

"Kamu melupakan jadwal pengambilan gambar ya? Dan juga casting iklan dan salah satu film, kamu mau bikin mommymu ini malu Jen!! Produser filmnya tadi telpon mommy loh, dan katanya kamu ga datang? Kenapa?" Ucapnya dengan nada marah namun menahannya.

Jeno pun langsung pergi begitu saja dan pamit ke kamar.

"Jeno capek mom, mau istirahat. Aku ke kamar dulu."

Dengan menghela nafas berat, Jeno  melangkah ke kamar mandi dengan bergontai lesuh.

Pikirnya hanya mau ibunya sadar bahwa yang diinginkan anaknya itu kemauannya bukan kemauannya sang ibu, Jeno memang selalu berharap sang ibu sadar bahwa Jeno hanya ingin sekolah, belajar, mengikuti olimpiade atau turnamen basket.

Lalu Jeno menoleh ke meja belajarnya yang rapi dan bersih itu.

Ia sudah mandi dan berpakaian santai dengan handuk sedang yang terkalung di lehernya untuk mengeringkan rambut dan tangan kanannya mengambil sebuah bingkai yang tak begitu besar di atas meja belajarnya.

Ia mengusap lembut poto bingkai yang bergambar dua orang disana, dengan salah satunya adalah Jeno sendiri sembari merangkul ringan seseorang yang di sampingnya dengan berpose tangan peace dan tersenyum manis itu membuat bibir jeno terangkat mengingat momen saat itu.

"Ternyata kamu masih sama seperti dulu ya. Tapi, sepertinya kamu melupakanku ya? Tak apa, aku senang dan bisa bertemu kembali denganmu. Maafkan ucapanku saat itu, aku hanya berbohong akan pergi jauh darimu." Monolognya dengan senyuman yang masih sama.

"Kamu adalah sumber energiku, disaat mommy selalu memaksaku. Kamu lah yang menjadi sumber aku yang sekarang masih berdiri tegap, namun aku butuh lebih dari hanya melihatmu dari kejauhan saja. Dan aku juga ingin meminta maaf langsung padamu, tapi aku belum punya keberanian untuk bertemu secara langsung dihadapanmu. Sekali lagi aku minta maaf ya." Dengan lembut ia kembali tersenyum manis menatap gambar wajah orang tersebut.

Ia langsung meletakkan kembali ketempat semula bingkai itu diletakan. Dan Jeno bangkit dan pergi ke kamar mandi dan pergi keluar untuk memakan sesuatu.


***

Keadaan Jaemin pun tak jauh berbeda dengan yang lain.

Ia sekarang termenung di teras halaman belakang rumahnya, dengan ditemani sang adik yang sedang asik bermain dengan ketiga kucingnya berlari sana sini mengejar mereka.

Dan ayah Jaemin menyusul ke tempat dimana anak-anaknya berada.

"Hey nak, ngelamun aja kerjanya. Ada masalah?" Tanya sang ayah dengan menoel bahu Jaemin.

"O-oh. engga kok yah, ga ada." Balasnya dengan menggeleng.

"Yang bener? Apa masalahnya itu anaknya pak Haryo?? Kan kamu toh yang disuruh jagain anak bungsunya, yaa kann~ hayo ngaku!" ucap ayah dengan bercanda.

"Engga ada yah, cuma turnamen basket bulan depan kok."

"Cuma itu doang? Turnamen basket aja sampe melamunnya kayak galau gituu." Dengan menikmati kopi hitam yang beliau bawa dari dalam rumah.

"Tapi kan ini turnamen yah, yaa! Wajar dong kan buat mikirin strategi permainan sama balas serang ke lawan nanti harus gimana dan masih banyak yah. Gimana ga kepikiran, huffttt!." Jelasnya dengan menghela nafas panjang.


Sang ayah hanya mengangguk dan tersenyum kecil melihat sang putra sulungnya mencoba menjelaskan apa isi otaknya sekarang.

Padahal memang iya, jika Jaemin sedikit memikirkan Jisung dan ia tak mau ketahuan oleh ayahnya sendiri meski harus beralibi ke arah lain. Tak masalah.

--oo0O0oo--



To be continued...

Love Ending Bet | JaemsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang