pukul 7, seokjin berjalan keluar apartemennya. Dengan mengenakan pakaian tebal berlapis-lapis, seokjin berjalan menuju cafe yang terletak didekat rumahnya. Ia melanjutkan pekerjaan paruh waktunya yang kedua.
"Eoh, kochini! Akhirnya kau datang juga!" Seokjin tersenyum sambil melepas jaket tebalnya.
"Aigoo... kau sebegitunya merindukanku ya~" goda seokjin. Mark mendengus.
"Bukan begitu. Aku senang akhirnya shif ku selesai" balas Mark. Seokjin gantian mendengus.
"Pergilah! Sekarang giliran ku bekerja" usir jin. Mark tertawa."Uri kochini marah yaa~"goda Mark sambil melepas apron yang dikenakannya dan memberikannya kepada seokjin.
"Ya! Bisakah kau berhenti memanggilku seperti itu, Mark?" Protes seokjin sambil memakai apronnya.
"Eiii... Tentu saja tidak bisa! Bukankah itu imut? Hanya aku yang memanggilmu seperti itu"jawab Mark cepat. Seokjin mendengus.
"Terserahmu! Pergilah"tolak jin cepat. Mark melambaikan tangannya dan berjalan keluar cafe.
"Selamat datang di cafe La seanna, Anda mau pesan apa?"ucap seokjin sambil tersenyum andalannya.
•∆•
Pukul 12 malam, seokjin selesai dengan pekerjaannya. Ia melepas apronnya, bersiap untuk membersihkan cafe sebelum menutupnya. Pintu cafe berbunyi.
"Maaf, kami sudah tu-"
"Americano satu!"Seokjin terdiam. Berusaha mengontrol ekspresinya.
"Nee... tunggu sebentar"seokjin tidak menyangka bahwa Jimin akan menjadi pelanggan terakhirnya. Tangannya bergetar membuat americano. Jimin mengamatinya tanpa ekspresi. Sesekali Jimin menepuk-nepuk kepalanya. Ia mendengus, lain kali aku tidak mau diajak hyunjin minum Soju lagi, kepalaku pusing sekali, batinnya. Pemandangan itu tidak luput dari netra seokjin.
"Anda baik-baik saja?"tanya seokjin. Jimin mendengus.
"Jangan pedulikan aku! Seokjin ssi"seokjin terdiam. Jimin memperlakukannya seperti orang asing."Ini americano nya, selamat menikmati~" seokjin tersenyum seperti biasanya. Alis Jimin bertaut, padahal kukira ia akan menampilakan wajah sedih, tapi bagus juga pertahannya. Jimin mengambil americano nya lalu berbalik. Ponselnya berbunyi.
"Hm... kau meninggalkanku di kedai tadi!" Ucap Jimin.
"..."
"Dimana kau?"
"..."
"Aku di cafe La seanna, cepat jemput aku"
"..."
"Hm, kutunggu"Jimin berbalik, menatap seokjin yang sedang melepas apronnya.
"Bolehkah aku duduk disini sebentar seokjin ssi? Temanku akan datang menjemputku"
"Ahh... ne, silahkan"ucap seokjin kikuk. Jimin berjalan terhuyung-huyung menuju salah satu tempat duduk. Sementara seokjin mengambil pengepel lantai dan mulai mengerjakan tugas terakhirnya.
Jimin menyesap americano nya sambil sesekali melirik seokjin yang bekerja dengan giat. Jimin menatapnya tanpa ekspresi. Tiba-tiba sekelebat ingatan sepuluh tahun yang lalu muncul di kepalanya.
.
.
.
."Jin-hyung, kenapa kau mengepel lantai? Itu kan pekerjaan pembantu" Jimin berjalan kedapur sambil menatap seokjin yang sibuk mengepel lantai.
"Ahh... ini karena aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini jimin-ah"
"Benarkah? Kalau begitu biar aku membantumu!"mata Jimin menatap heran bekas luka di buku jari seokjin. kapan Hyung terluka?
"Tidak perlu, nanti tanganmu kotor, biar aku saja yang mengerjakannya"
"Yah hyung! Kau tidak adil"
"Kalau begitu, masuklah ke kamarmu dan baca bukumu, maka itu akan adil bagi kita berdua. Kau belajar dan aku bekerja, bagaimana?"
Jimin mengangguk, meskipun ia tidak tau dimana letak adilnya, ia tetap mematuhi perintah seokjin dan berjalan masuk ke kamarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Brother in law
Fiksi PenggemarKim seokjin. seorang namja yang merasa hidupnya adalah sebuah kutukan. Lahir dengan mengorbankan nyawa ibunya, dituduh membunuh ayahnya, berusaha menahan sakit akibat hujatan orang orang disekitarnya. Akankah dia bisa bertahan?