part 9

65 12 0
                                        

  Seokjin membuka pintu rumah. Kepalanya berputar hebat. Seokjin berjalan terhuyung-huyung. Sesekali menggerutu karena merasa tak berdaya.

  Puk

  Seokjin bertabrakan dengan Jimin yang baru mau keluar. Reflek Jimin memeluk Seokjin yang akan jatuh. Seokjin mengedip-ngedipkan matanya bingung. Yep, Seokjin yang sakit adalah seokjin yang kehilangan kontrol atas dirinya.

  "Jiminie~"ucap seokjin. Jimin menaikkan satu alisnya. Merasakan suhu tubuh seokjin yang memanas.

   "Uuhh.. kepalaku pusing sekali~"seokjin memukul kepalanya sendiri. Membuat Jimin terheran-heran. Ada apa dengannya? Kemana sifat dewasanya? Heran Jimin.

   "Aish, aku jadi terlihat lemah kan didepanmu" seokjin memproutkan bibirnya. Jimin mendengus. Inginnya menolak seokjin agar dia terjerembab saja sekalian. Tapi gerakannya terhenti saat mendengar ucapan seokjin berikutnya.

   "Apa kau sudah menemukan kebahagiaanmu yang lain, jiminie~?"ucap seokjin.

   "Berhenti memanggilku seperti itu!"desis Jimin tak suka. Seokjin cemberut.

   "Hmm~ kau marah? Aigooo~ kau terlihat sangat menyeramkan jiminie~ padahal dulu kau sangat menggemaskan"Jimin benar-benar tak habis pikir. Kenapa seokjin yang sedang sakit terlihat seperti seokjin yang mabuk parah?

   "Kenapa kau malah membahas masa lalu" geram Jimin.

   "Kau tak menjawab pertanyaanku~"jin berucap sedih.

   "Ckk, pergilah ke kamarmu!"sentak Jimin. Ia menolak tubuh seokjin agar menjauh darinya. Dan berhasil.

   Seokjin berhasil terjerembab mencium lantai kayu yang dingin.

  Jimin mendengus, hendak meninggalkan seokjin disana. Tapi kemudian merasa iba melihat seokjin yang bersusah payah merangkak menuju dapur. Jimin mengerutkan keningnya.

   "Ya! Kau mau melakukan apa?" Tanya Jimin.
Seokjin mengangkat tubuhnya susah payah dan menyenderkan dirinya diatas pantry dapur.

   "Memasak. Ini sudah jadwal makan siang, bagaimana kalau adik-adikku pulang dan tak ada makanan? Mereka pasti kelaparan~"ucap jin pelan. Jimin menggeleng tak percaya.

   "Dasar gila! Kau bisa membakar seluruh rumah kalau kau memasak dengan kondisi seperti itu! Pergilah ke kamarmu!"perintah Jimin. Seokjin tertawa.

   "Jiminie~ sekarang ini, apa kau sedang mengkhawatirkanku?" ucapnya senang. Jimin menepuk jidatnya pelan. Ini tidak akan berakhir. Maka ditariknya lengan seokjin dan diseretnya menuju kamar.

  Seokjin memberontak, masih dengan racauannya yang memaksa ingin memasak dan Jimin dengan tak pedulinya mengacuhkan segala ucapan jin. Jimin tetap menyeret seokjin sampai ia masuk kekamar.

  Jimin membanting tubuh seokjin dengan kasar diatas tempat tidur. Membuat sang empu meringis kesakitan.

  "Tunggu disini!" Jimin berjalan keluar menuju dapur. Ia memasak bubur instan dan membawanya ke kamar seokjin.

   "Nah makan!"titah Jimin. Jin masih akan protes tapi tak jadi. Ia kembali meringis sambil memegangi kepalanya. Kepalanya semakin berputar.

  Jimin tak sabar. Ia mengambil sendok dan duduk dikasur seokjin. Setelah membantu seokjin agar duduk dengan bersandar, ia menyuapkan bubur tersebut. Dengan kasar tentu saja. Hey, Jimin tak pernah mengurus orang sakit. Jadi wajar saja jika seokjin merenggut setelahnya.

   "Kau kasar sekali"gumam jin. Jimin memutarkan bola matanya malas.

   "Aku tak ingin kau mati dengan aku sebagai orang terakhir yang berada di dekatmu, nanti aku ditangkap sebagai tersangka pembunuhan" ucap Jimin acuh. Membuat hati seokjin mencelos.

Brother in lawTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang