Cindy menelungkupkan kepalanya pada lipatan lengannya. Dia sama sekali tak sanggup mengangkat wajahnya. Sebab manusia yang duduk di depannya ternyata adalah Candra, pujaan hatinya.
Cindy memilih tempat duduk yang sama seperti sebelumnya. Bangku ketiga dari depan, juga ketiga dari pintu masuk. Biasanya, bangku depan Cindy diisi oleh sahabat-sahabatnya. Sayangnya kali ini Cindy lupa jika dia tidak lagi satu kelas dengan ketiga sahabatnya.
"Duh, kenapa harus duduk depan belakang begini sih," keluh Cindy.
Sejujurnya, Cindy tidak menyangka jika Candra akan memilih bangku barisan kedua. Walaupun lelaki itu tidak pernah luput dari peringkat sepuluh besar di kelasnya, biasanya para lelaki lebih suka duduk di barisan belakang.
Satu hari sudah berlalu sejak ungkapan perasaan Cindy yang tiba-tiba. Selama satu hari itu pula, Cindy terus saja harus menebalkan muka dan menahan malu. Dia berulang kali menyesali keputusan impulsifnya.
Selama satu hari ini, Candra bersikap seperti biasanya. Lelaki itu menjalani hidupnya seperti biasa seperti tidak baru saja bertemu dengan perempuan gila yang menyatakan perasaannya bahkan sebelum keduanya saling mengenal. Itu bagus, tentu saja.
Hanya saja ... teman-teman Candra tidak demikian.
Catur yang biasanya tidak terlalu ramah kepada orang yang tidak dikenal, kini selalu tersenyum saat berpapasan dengan Cindy. Begitu pula dengan Hanif. Apalagi Nanda, lelaki itu bahkan heboh sekali kalau melihat Cindy. Bahkan tak ragu untuk menggodanya.
Seperti saat ini. Bel masuk belum berbunyi. Jadi banyak siswa yang belum duduk di tempat duduknya. Salah satunya adalah Nanda.
Nanda saat ini duduk di bangku samping Cindy. Lelaki itu juga meletakkan kepalanya di atas lipatan lengannya. Bedanya jika Cindy menelungkupkan kepalanya, maka Nanda menoleh ke arah kanan. Menatap ke arah Cindy.
"Ngadep bawah mulu, Neng. Ada cowok ganteng di sebelahnya malah dianggurin," godanya.
Cindy mengangkat kepalanya dengan kesal. Dia bingung kenapa Nanda yang justru bereaksi, bahkan terkesan mendekatinya. Padahal dia sama sekali tidak tertarik dengan lelaki itu.
Nanda memang tampan, bisa dibilang paling tampan di antara ketiga temannya. Hanya saja ... membayangkan harus menjalin kasih dengan lelaki yang sangat amat ramah kepada semua orang, astaga Cindy bahkan tidak bisa membayangkannya. Apalagi Nanda itu jagonya gombal, rasanya dia akan merasa sakaw jika tidak merayu sehari saja.
"Nda, lo jangan duduk di sini deh. Ntar gue diserbu sama fans-fans lo," usir Cindy.
Cindy sama sekali tidak mengada-ada. Dalam satu hari saja sudah banyak yang memperhatikannya karena kedekatannya dengan Nanda, apalagi kalau semakin lama? Dia bahkan berani bertaruh jika kedekatan mereka ini akan dibahas dalam menfess sekolahnya yang diposting setiap hari Sabtu.
"Yaelah santai aja kali, Cin. Mereka mana berani gerak terang-terangan. Emangnya mereka berani gue tandai sebagai toxic fans dan nggak akan pernah dapet rayuan gue? Justru sekarang lo jangan jauh-jauh dari gue. Kalau lo jauh dari jangkauan gue, itu kesempatan mereka buat nakalin lo." Nanda mengelak.
Cindy mendengus mendengar ucapan Nanda yang begitu percaya diri. Walaupun kenyataannya memang begitu, fans Nanda tidak akan berani bertindak buruk di depan idolanya. Hanya saja untuk bertahan di sekitar Nanda sepanjang waktu, Cindy tidak mampu melakukan ya.
Cindy benci menjadi pusat perhatian, sedangkan Nanda adalah pusat perhatian.
Bel masuk berbunyi tak lama kemudian, Nanda pun kembali ke tempat duduknya. Semua siswa mengikuti pelajaran dengan baik. Apalagi ini baru hari kedua sekolah, semangat untuk bersekolah masih tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days With Cindy
Teen Fiction"Gini, aku suka sama kamu, jadi bisa nggak bales perasaanku?" Cindy secara terang-terangan mengungkapkan perasaannya. "Nggak," jawab laki-laki itu tegas. "Kalau gitu aku minta 30 hari dari kamu. Siap-siap aja karena dalam jangka waktu tersebut aku b...