Satu minggu telah berlalu, bahkan sudah lewat satu hari. Perkembangan hubungan antara Cindy dan Candra cukup bahkan sangat signifikan. Candra yang pada awalnya benar-benar cuek dan tak pedulian kini lebih banyak memulai interaksi.
Contohnya seperti kali ini. Candra tengah bersandar di dinding depan kelas sembari bersedekap. Matanya yang tertutup kacamata itu terpejam damai, tapi tidak tidur.
Candra tengah menunggu Cindy yang masih melaksanakan tugas piket. Gadis itu cukup rajin, jadi dia membutuhkan waktu yang lama. Biasanya siswa hanya memilih satu pekerjaan, tapi Cindy justru mengerjakan beberapa hal sendirian. Seperti menyapu, mengganti tanggal di papan tulis, merapikan bangku, bahkan menyapu lagi bagian yang dia rasa kurang bersih saat dibersihkan oleh temannya.
"Dia kalau jadi istri, pasti jadi istri idaman. Apa aja bisa," gumam Candra.
Candra menggelengkan kepala memikirkan hal itu. Dia membuka matanya. Belakangan, Candra jadi sering memikirkan kehidupan tentang pernikahan. Seperti saat dia terbangun di pagi hari dan melihat wajah istrinya, menikmati makanan yang dimasak istrinya sepulang kerja, juga menghabiskan waktu dengan istrinya nanti.
Yang lebih aneh, sosok 'istri' yang Candra imajinasikan selalu sama, Cindy.
Candra tidak tahu mengapa. Dia benar-benar bingung. Di satu sisi, dia merasa nyaman dan senang saat bersama Cindy. Di sisi lain, dia tidak merasa bahwa dia 'menyukai' Cindy sebagai laki-laki. Dia hanya menganggap Cindy sebagai temannya.
"Candra!"
Candra menoleh mendengar panggilan itu. Seorang gadis tampak berlari kecil keluar dari kelas menuju ke arahnya. Candra pun menegakkan tubuhnya.
"Kok belum pulang?" tanya Cindy. Biasanya Candra sudah hilang begitu bel pulang berbunyi, kecuali jika mereka ada janji.
Candra dan Cindy berjalan bersama menuju gerbang.
"Aku nungguin kamu." Cindy mengernyit mendengarnya.
"Ngapain nungguin aku?"
"Kamu bilang sendiri kalau selama tiga puluh hari ini, kita harus ngedate terus. Hari ini kamu sama sekali nggak ngajakin aku pergi ke mana pun, jadi aku inisiatif nunggu. Aku 'kan punya janji, aku nggak mau jadi pengecut yang ingkar janji," jelas Candra.
Cindy tersenyum mendengarnya. Dia menyukai lelaki yang tepat. Sosok yang bisa dipegang baik janji maupun ucapannya.
"Hari ini sebenernya aku nggak punya ide kita harus pergi ke mana. Karena itu aku nggak ngajakin kamu sama sekali. Walaupun ... ya sebenernya aku pengen keluar lagi sih." Cindy menjawab.
Candra mengangguk. Selama ini, Cindy yang selalu mengusulkan kegiatan apa yang harus mereka lakukan. Mungkin ini saatnya untuk memberi usulan.
Cukup sulit, untuk Candra. Selama ini dia jarang berinteraksi dengan perempuan selain ibunya. Dia tidak pernah berpacaran. Mempunyai teman dekat berjenis kelamin perempuan pun dia tidak pernah.
Kalau dia mengajak Cindy untuk berolahraga, apa gadis itu mau? Kalau berolahraga pun, apa yang biasanya suka dilakukan para gadis? Bersepeda? Sepertinya bukan ide yang buruk. Olahraga yang santai dan tidak begitu melelahkan.
"Mau main sepeda? Di alun-alun kemarin kayaknya aku liat ada jasa persewaan sepeda." Candra benar-benar berharap Cindy menerima usulannya. Sebab dia benar-benar tidak tahu apa lagi ide bagus yang bisa mereka lakukan.
"Main sepeda boleh sih, tapi kalau sewa sayang uangnya. Aku punya sepeda di rumah, kamu punya nggak?" tanya Cindy.
Candra mengembuskan napas lega mendengar Cindy menyetujui usulannya. Dia segera menjawab pertanyaan Cindy.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days With Cindy
Teen Fiction"Gini, aku suka sama kamu, jadi bisa nggak bales perasaanku?" Cindy secara terang-terangan mengungkapkan perasaannya. "Nggak," jawab laki-laki itu tegas. "Kalau gitu aku minta 30 hari dari kamu. Siap-siap aja karena dalam jangka waktu tersebut aku b...