Di antara teman-teman Cindy, yang berasal dari keluarga berada hanyalah Loudy. Karena itu, rumah Loudy sering mereka jadikan basecamp. Mereka selalu berkumpul di rumah Loudy, entah untuk mengerjakan tugas kelompok, menginap, atau bahkan hanya sekadar berbincang.
Keempat kawan itu tidak pernah membuat rencana dari jauh-jauh hari. Mereka lebih suka mengadakan sesuatu secara mendadak. Mereka beranggapan jika sesuatu direncanakan dari lama, maka sesuatu itu hanyalah hanya akan menjadi wacana.
Dalam pertemanan Cindy, Freya, Loudy, dan Marsya, mereka berpegang teguh bahwa teman harus datang saat dibutuhkan. Kecuali jika keadaan memang tidak memungkinkan. Seperti sedang berada di tempat yang jauh, atau ada hal penting lain yang harus dikerjakan—misalnya ujian.
Salah satu contoh kesetiakawanan mereka itu adalah pada acara hari ini. Cindy tanpa alasan mengajak mereka semua untuk menginap di rumah Loudy. Loudy tentu saja tidak keberatan, sebab orang tuanya tengah bekerja di luar kota. Dua temannya yang lain juga langsung mengiyakan.
Sepulang dari danau, Cindy langsung menelepon ketiga temannya. Gadis itu kemudian meminta izin kepada orang tuanya. Barulah mengemasi beberapa benda untuk ia bawa ke rumah Loudy.
Kebetulan besok hari Sabtu dan Cindy libur, jadi dia tidak perlu membawa seragam dan buku pelajaran.
Perjalanan dari rumah Cindy menuju rumah Loudy lumayan jauh. Karena itu Cindy meminta ayahnya untuk mengantarnya. Dia lelah kalau harus berjalan kaki atau naik sepeda, tapi dia tidak bisa mengendarai motor.
Cindy menahan tangisnya di sepanjang perjalanan. Namun, Cindy tetaplah Cindy yang cengeng. Gadis berambut coklat sebahu itu tak kuasa menahan air matanya. Dia bahkan sesekali terisak, yang pasti dapat didengar sang ayah.
Sesampainya di rumah Loudy, Cindy menyalimi tangan ayahnya. Saat gadis itu hendak pergi, sang ayah memanggilnya kembali. Cindy pun dengan sopan berbalik. Hingga tampaklah mata sembabnya yang memerah.
"Nak, kalau ada apa-apa kamu boleh cerita sama ayah dan ibu. Maaf kalau selama ini kami kurang baik menjadi orang tua sampai-sampai kamu harus nginep di rumah orang cuma buat cerita."
Mendengar itu, tanpa kata Cindy langsung memeluk ayahnya. Tangisnya runtuh kembali. Tidak menyangka ayahnya akan berkata seperti itu.
"Ayah sama ibu baik kok. Cindy seneng bisa punya orang tua kayak kalian. Cindy pengen ke sini karena yang Cindy omongin 'kan perihal anak muda. Cindy lebih nyaman kalau cerita ke teman sepantaran, tapi bukan berarti Cindy nggak nyaman kalau sama ayah dan ibu. Kalau di sini 'kan Cindy bisa sekalian main, jadinya nggak sedih terus. Maaf kalau Cindy bikin ayah berpikir begitu. Apa Cindy pulang aja?" tawarnya di akhir.
Cindy benar-benar merasa bersalah. Baginya, lebih baik pulang dan menunda semua luapan emosinya daripada menyakiti hati kedua orang tuanya. Keduanya sudah bekerja keras untuk membiayai kehidupannya hingga saat ini. Cindy tak ingin lagi memberi beban kepada mereka.
"Gapapa. Sudah, sana main! Nanti kalau sudah mau pulang telepon ayah, ya!" Setelah melihat anggukan Cindy, sang ayah lantas melajukan motornya menjauhi pekarangan rumah Loudy.
Cindy memencet bel pintu rumah Loudy. Tidak ada satpam yang menjaga di pagar. Sebab satpam rumah Loudy baru saja mengundurkan diri secara mendadak beberapa hari lalu. Dan orang tua gadis itu belum sempat mencari pengganti.
Loudy membuka pintu tak lama kemudian. Gadis itu tetap terlihat cantik walaupun hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Aura orang kaya memang beda.
Loudy menggiring Cindy menuju kamarnya. Di sana, sudah ada Marsya dan Freya yang kini tengah bermain game memasak. Keduanya kompak menoleh saat Cindy datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days With Cindy
Teen Fiction"Gini, aku suka sama kamu, jadi bisa nggak bales perasaanku?" Cindy secara terang-terangan mengungkapkan perasaannya. "Nggak," jawab laki-laki itu tegas. "Kalau gitu aku minta 30 hari dari kamu. Siap-siap aja karena dalam jangka waktu tersebut aku b...