Day 2

12 2 0
                                    

Pelajaran di hari ketiga sekolah berjalan membosankan. Lagi-lagi, guru menjelaskan dengan sistem ceramah. Tidak ada interaksi dua arah dengan siswa.

Kenyataan pahit, guru di sekolah negeri banyak sekali yang kurang interaktif. Kebanyakan dari mereka hanya menjelaskan pelajaran dengan panjang lebar, tanpa peduli apakah siswa memahaminya atau tidak. Entah mengapa bisa seperti itu.

Mungkin karena gaji yang cukup rendah, atau urusan administrasi yang juga perlu dikerjakan oleh guru. Sehingga waktu untuk mempelajari metode belajar yang baru pun tidak ada. Atau kemungkinan paling buruk, mereka hanya menuntaskan kewajiban, tidak memiliki rasa bertanggungjawab atas pemahaman siswa atas pelajaran yang mereka ajarkan.

Candra memilih membuka buku catatan kelas sebelasnya yang sudah tidak terpakai. Lelaki itu lantas mengeluarkan pensilnya. Mulai menggores di buku tadi.

Candra mengerjapkan matanya yang mulai sedikit lelah. Sebenarnya, Candra memiliki minus di matanya. Hanya saja dia malas memakai kacamata, tidak percaya diri katanya.

Merasa tidak mungkin melanjutkan menggambar tanpa kacamata, Candra pun mengambil kacamata dari tasnya dan mengenakan kacamata itu. Setelahnya, Candra melanjutkan kegiatan menggambarnya. Dia sama sekali tak berniat mendengarkan penjelasan guru.

Ngomong-ngomong, Candra mendapatkan kacamata itu secara cuma-cuma. Dulu saat awal kelas sebelas, dia jarang memperhatikan karena tidak bisa melihat papan tulis dengan jelas. Dengan itu, sekolah pun memberikan Candra kacamata secara gratis.

Kala itu, Candra kesal sekali sebab orang tuanya harus mengambil kacamata itu ke sekolah. Padahal, orang tua Candra cukup ketat mengenai masalah mata anaknya. Sehingga sepulang sekolah, Candra pun dimarahi habis-habisan oleh bundanya.

"Makanya jangan kebanyakan menggambar! Apalagi kalau sudah malam," kata ibu Candra kala itu. Sampai sekarang pun, Candra tidak diperbolehkan menggambar di malam hari.

Kembali ke masa kini, Candra tengah tersenyum memandang hasil gambarnya. Dia baru saja menggambar karakter wanita dari anime kesukaannya. Hasilnya cukup mirip, tentu saja karena Candra sudah jago menggambar.

"Candra, sudah selesai menggambarnya?"

Candra terkesiap mendengar panggilan itu. Dia melihat ke sekeliling dan baru tersadar jika semua orang melihatnya. Astaga, pantas saja tadi Hanif beberapa kali menyenggolnya.

"Aku udah kasih kode dari tadi, kamu malah nggak peka. Salahmu sendiri," bisik Hanif.

Candra gelagapan saat guru sejarah yang sedang mengajar itu mendekatinya. Menurut kontrak belajar, siswa dilarang mengerjakan apa pun saat jam pelajaran sejarah berlangsung, kecuali tugas dari guru sejarah itu sendiri. Jika ada yang melanggar, konsekuensinya adalah hal yang siswa kerjakan itu akan dirobek.

"Kamu sudah tau konsekuensinya 'kan, Candra? Bukan salah saya ya kalau saya robek. Ini sudah ada di perjanjian, dan semua setuju." Guru itu berkata.

Candra mengangguk. Lelaki itu memejamkan matanya kala guru sejarah itu mengambil bukunya. Kemudian terdengar robekan kertas yang terasa mencabik-cabik.

Candra membuka matanya kembali dan melihat gambarannya sudah tercerai-berai menjadi beberapa lembaran. Lelaki itu menatap sendu ke arah lembaran-lembaran kecil itu. Gambarannya sudah tak terlihat lagi bentuknya.

"Cindy, kamu juga!" Atensi Candra teralih dari robekan kertasnya. Dia menoleh ke belakang.

Cindy tengah gelagapan, mencoba menyembunyikan kertas yang ada di mejanya. Sayangnya, guru sejarah itu lebih dulu mengambil kertas itu. Dengan gerakan pelan, guru itu merobek kertas milik Cindy.

30 Days With Cindy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang