Entah sudah berapa lama ia hidup menjalani harinya yang menurutnya sangat monoton. Pergi sendirian, dikucilkan, dianggap sebagai seorang pembunuh, dan berbagai hal negatif lainnya membuatnya perlahan terbiasa dengan semua itu. Bohong kalau dirinya tidak merindukan kehidupan normal, bohong juga jika dirinya menganggap semuanya akan baik-baik saja.
Sudah hari ketiga ratus tiga puluh tujuh sejak wabah monsterisasi, tak ada yang tahu bagaimana perasaan dan kondisi orang-orang yang masih hidup sebagai manusia. Namun, ada dua hal yang pasti, yaitu ketakutan dan keputusasaan dari mayoritas manusia yang hidup di bawah tanah stadion, tempat penampungan yang kini menjadi tempat tinggal mereka.
Alarm berbunyi menandakan waktunya absen untuk pengecekan bagi mereka yang tinggal di dalam stadion. Satu persatu tentara keluar, berbaris menuruni undakan tangga. Sebuah rutinitas bagi mereka, terasa menyakitkan memang, namun itu lebih baik daripada tinggal di luar.
'Lima menit sebelum berkumpul. Hentikan aktivitas kalian dan dimohon untuk kembali ke posisi. Absensi akan dimulai dalam lima menit. Kembali ke posisi masing-masing dan bersiap untuk absensi. Cek orang-orang yang tidak ada dan pastikan tak meninggalkan posisi. Selain itu, para penyintas tak akan bergabung dalam ekspedisi ini. Ekspedisi untuk para penyintas dilarang untuk saat ini. Keputusan ini diambil demi keselamatan para penyintas. Harap percaya dan ikuti keputusan Peleton. Mohon periksa satu sama lain untuk memastikan semua lengkap. Sekian.'
Pengumuman itu terdengar di seluruh penjuru stadion. Para penyintas yang ada di sana sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing sebelum berkumpul untuk pengecekan rutin yang selalu diadakan oleh para tentara dan orang yang mereka panggil 'Ketua Ji'.
Sebuah bola kasti terjatuh menggelinding mengenai kaki salah satu tentara yang tengah berkeliling. Bola itu adalah milik Yeongsu, bocah itu meminta benda miliknya dikembalikan begitu tentara yang berjalan bersama Chanyeong memungut mengambilnya.
"Kapan luka ini muncul?" tanya tentara itu begitu melihat luka di tangan kiri Yeongsu pada Ibu Cha.
"Semalam," jawab Ibu Cha.
"Itu terlihat normal," bela Chanyeong.
"Jangan ikut campur. Perlu dipastikan." Yeongsu mengambil bola kasti miliknya secara kasar dari genggaman pria dewasa di depannya.
Sedangkan pria dewasa itu mengambil senjata tajam yang ia bawa dan hendak menggores tangan bocah yang hanya ingin benda miliknya dikembalikan.
"Kumohon jangan. Dia anak-anak," pinta Ibu Cha.
"Anak-anak juga bisa jadi monster. Tidak ada pengecualian." Chanyeong diam memperhatikan perdebatan di depannya, ketika sang atasan kembali mengacungkan senjatanya, tetapi ada tangan yang menahan membuat darah menetes dari sana.
"Mulai dari aku saja," kata Eunyu, gadis yang menggenggam mata pisau membuat jemarinya terluka. Tak lama setelahnya, ia menarik tangannya, menunjukkan luka baru di tangannya dengan ekspresi datar andalannya. "Puas?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Home
FantasyHidup di antara dua pilihan memang sangatlah sulit, apalagi jika pilihan yang ada adalah mati sebagai manusia atau hidup sebagai monster. Tentu saja kedua pilihan itu tak pernah terbayang dalam benak manusia-manusia yang hidup di zaman dimana semua...