Entah sudah berapa banyak langkah yang Ui-Myeong ambil, yang jelas kini dirinya sudah berdiri di depan sebuah bangunan yang hampir runtuh. Bangunan itu adalah tempat tinggalnya selama setahun atau mungkin lebih. Di punggungnya masih ada Minjee yang sedang tertidur bersandar di bahunya.
Hatinya menghangat, Ui-Myeong tak ingin kehangatan itu memudar seiring bertambahnya langkah kakinya yang menapak di atas tanah. Ia pun berhenti, tepat di depan pintu yang menghubungkan dunia luar dan kekacauan di dalam sana. Ui-Myeong merasa dejavu, ia pernah mengalami hal ini sebelumnya.
Langit gelap tak berbintang, hanya ada satu bulan yang menjadi satu-satunya teman malam. Di persimpangan jalan, tepatnya di bawah lampu jalanan Ui-Myeong menghentikan langkahnya. Rumah yang ditinggali gadis di punggungnya sudah dijangkau oleh matanya, namun seperti ada lem super yang merekatkan antara sepatu dan aspal yang ia pijak. Ui-Myeong tak kunjung melangkah meski sejujurnya ia merasa berat dengan tas yang ia bawa juga gadis yang terlelap di punggungnya.
Suara pecahan kaca terdengar jelas, ditambah lagi bantingan benda berat yang menyapa lantai. Hendak Ui-Myeong memutar balik langkahnya, tetapi Minjee lebih dulu bangun meminta Ui-Myeong menurunkan tubuhnya. "Kau… menginap di rumahku saja, ya?" tawar Ui-Myeong, lebih tepatnya meminta agar gadis yang tengah mengelap sudut bibir kirinya tidak pulang.
"Memang kenㅡ" Kalimatnya belum selesai karena seseorang lebih dulu memotongnya begitu suara pagar dibuka kasar. "Hei! Lee Minjee! Sudah kukatakan jangan bermain bersama bocah miskin berandalan itu!" Minjee menoleh, ia menatap ayahnya yang entah kapan sudah berdiri di sebelahnya.
Belum sempat berpamitan, tangan Minjee lebih dulu ditarik oleh lelaki paruh baya meninggalkan Ui-Myeong yang masih terpaku di tempatnya.
Di bawah temaram cahaya lampu jalanan, Ui-Myeong mendengar rintihan gadis yang baru saja ia antar pulang. Suara pukulan, seruan, dan berbagai hal yang jelas tak pernah ia dapatkan dari keluarganya tertangkap jelas di telinganya. Ui-Myeong hanya diam, dia tidak bergerak barang seinci pun untuk menyelamatkan gadis yang selalu tersenyum saat bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Home
FantasyHidup di antara dua pilihan memang sangatlah sulit, apalagi jika pilihan yang ada adalah mati sebagai manusia atau hidup sebagai monster. Tentu saja kedua pilihan itu tak pernah terbayang dalam benak manusia-manusia yang hidup di zaman dimana semua...