| 08 : Ayah |

341 26 11
                                    

ł Happy Reading ł
~
~
~
Kalo ada typo komen yak!



Kening Kailash mengernyit beberapa kali sebelum matanya terbuka menampakan manik coklat gelap miliknya.

Manik Kailash beredar, pencahayaan kamarnya remang, hanya mengandalkan cahaya lampu tidur.

Kailash meraba hidungnya, nassal canula menempel dihidungnya. Ah, Kailash sudah beberapa bulan tidak memakai benda ini. Jika ia memakai alat bantu napas ini berarti penyakitnya berbuat lebih jauh dari biasanya.

Tangan Kailash meraba sudut bibirnya, perih. Mengingatkan Kailash pada apa yang terakhir kali terjadi sebelum ia kehilangan kesadarannya.

Dadanya tiba-tiba menyesak, bukan karena sulit bernapas, tapi sesak dengan perasaan tidak nyaman dan kecewa.

Kailash menutup kedua matanya dengan lengan, menyembunyikan air mata yang merebak dari sudut matanya.

Katakanlah Kailash cengeng, tapi Kailash pantas menangis, mengeluarkan sedikit sakitnya. Dunia begitu senang mempermainkan Kailash. Bahkan sejak kecil, Kailash sudah diuji dengan kehilangan sosok ayahnya.

Bibir ranum yang tak pernah lepas dari senyumnya itu bergetar, bibir bawahnya ia gigit untuk mencegah isak keluar.

Bahu berlapis sweater abu-abu itu bergetar, benaknya berkelana, bertanya-tanya, mengapa?

Kailash mengusap wajahnya, menyingkirkan sisa kesedihan diwajah teduhnya.

Kailash menatap jam digital di atas nakas, pukul dua dini hari. Hah, sudah beberapa hari ini Ia melewatkan sholat.

Pantas saja hatinya tak tenang, Tuhan merindukannya.

Kailash susah payah bangun, melepas alat bantu napasnya, beberapa detik dadanya terasa terhimpit tapi setelah ia menyesuaikan diri napasnya perlahan membaik meski pendek-pendek. Kailash menggeser tubuhnya ketepian ranjang dan memindahkan diri ke kursi roda.

Kursi rodanya berada disisi ranjang, sepertinya Yasha yang meletakkannya disini. Karena Kailash tahu sekali, Agrani selalu menyimpan kursi rodanya di dekat toilet.

Kailash melajukan kursi rodanya ke kamar mandi, membersihkan diri dan kembali ke kamar dengan rambut setengah basah.

Kailash menurunkan diri dari kursi rodanya dan bersimpuh di atas sejadah, sholat.

Setelah salam, Kailash mengadahkan tangan, bermunajat dan menangis.

Ingatannya menerawang mengingat masa kecilnya yang masih indah. Sebelum semuanya berubah.

"Kailash, kau tahu... ayah sangat bangga padamu," ucap seorang pria berwajah oriental. Matanya sama persis dengan Kailash, hanya matanya lebih tajam.

Bibir Kailash membentuk kurva tinggi, matanya hampir hilang. Ia senang sekali mendengar ayah bangga padanya.

Kailash begitu dekat dengan ayah, bahkan semua yang ada pada ayah Kailash miliki. Kecuali satu, otak cerdasnya. Ayah sangat cerdas, bahkan ia menjadi profesor matematika.

"Kai, masa begini saja kamu tidak bisa?"  Saga membenarkan kacamatanya dan kembali mengulang penjelasannya.

Tapi Kailash tak kunjung mengerti, "belajar yang benar Kai, jangan menggambar terus! kau harus cerdas!"

Kailash hanya menunduk, ia sudah berusaha tapi matematika bukanlah bakatnya. Kailash benci dengan angka angka yang memuakkan itu.

Meski Kailash bodoh dalam matematika, tapi ayah tetap menyayanginya. Tapi, saat fisik Kailash tak sempurna, ayah membencinya sekalipun Kailash pintar matematika.

AGRANI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang