Bab 1 - Hari Pertama

52 4 4
                                    

Aku sempat berharap untuk tidak sekelas dengan cowok itu. Karena sekali aku melihatnya, mataku tak bisa lepas darinya. Namun sekarang malah sahabatku yang disana, di kelas 10 MIPA 4. Sedangkan aku di 10 MIPA 1.

Sahabatku disana, dan aku duduk sendirian, satu kelas dengan orang yang membuat pikiranku selalu berkecamuk. Aku yakin akan terseok-seok melewati masa SMA ini.

Aku mengembuskan napas kuat-kuat. Aku yakin ini hanya perasaan dari masa pubertas saja.

Sekarang saatnya belajar. Wali kelas datang dengan senyuman hangat, setelah sesi perkenalan diri, beliau memberikan kami materi-materi yang akan dipelajari kedepannya. Hanya daftar materi, bukan belajar.

Aku sedikit tertegun, sepertinya beliau akan menjadi guru terfavorit selama SMA. Cara penyampaiannya enak, lembut, hangat, dan sangat mudah dimengerti. Mungkin karena beliau seorang ustadzah, yap, ustadzah nyasar kesini. Haha.

Panggil saja beliau ustadzah Reii, nama aslinya ustadzah Reina. Beliau juga seorang guru honorer. Yahh, begitulah, gaji seorang guru honorer. Sangat memprihatinkan! Tapi ustadzah Reii sepertinya tidak mempermasalahkan itu. MasyaAllah.

Setelah ustadzah Reii keluar, tidak ada guru lagi yang masuk. Aku sedikit canggung karena duduk sendirian, duh, seandainya ada Habiba...

Apalagi aku duduk persis ditengah-tengah, tidak paling depan, tidak paling belakang, benar-benar ditengah! Oh iya. Saat memperkenalkan diri tadi, aku tidak memperhatikan si hafidz itu, padahal aku setengah mati penasaran siapa namanya! Astagfirullah. Lagi-lagi aku memikirkannya...

Tiba-tiba aku teringat Akhtar. Loh, dimana dia? Apa jangan-jangan sekelas dengan Habiba? Dan mereka pun... Eitss...

"Halo, boleh kenalan?" seseorang mengulurkan tangannya, aku membalasnya sambil tersenyum dan mengangguk.

"Namaku Rayya, kamu?"

"A..." belum selesai bicara, mataku menangkap sosoknya yang sedang berjalan dibelakang Rayya. Sepersekian detik, takut dianggap yang aneh-aneh, aku pura-pura berpikir saja.

"Aulia" kataku akhirnya. Rayya tersenyum. Dia menawarkan diri untuk duduk sebangku denganku. Aku mengiyakan saja, sebenarnya masih banyak pertanyaan, tapi sosok itu ... Dia duduk dibelakang! Jantungku berdetak tak karuan. Demi menghindari pertanyaan "kamu kenapa?" aku berusaha memasang muka senetral mungkin.

"Nama panggilan kamu apa?" Rayya membuka topik baru

Bersamaan dengan itu, dia yang dibelakangku juga ikut bicara! Aku tidak fokus.

"Halo" cewek berlesung pipi itu melambaikan tangannya didepan mukaku. Aku tersadar.

"Lili" Aku berdeham dan menarik napas. Rayya bertanya kenapa, tuh kan! Dasar Lili. Aku menggeleng, lebih baik aku ajak Rayya keluar kelas saja. Dia menurut.

Diluar kelas, angin sepoi sepoi menyambut. Huh, akhirnya bisa bernapas lega. Sekolah ini besar dan luas, dengan diselimuti tumbuhan hijau dimana-mana membuat sekolah terasa hijau. Disini juga ada air mancur di dekat kantin, dulu sih ada ikannya, sekarang sudah tidak ada.

Oh ya, sekolah ini tidak terlalu ketat alias fleksibel dalam hal apapun. Tapi kalau menyangkut agama sebaliknya. Ini yang paling aku suka.

Bel istirahat berbunyi. Buru-buru aku mengajak Rayya ke kantin dengan alasan lapar, padahal takut melihat dia! Tapi Rayya menolak, "Aku bawa bekal, lumayan banyak, makan punya aku saja, daripada mubazir" kemudian menarik tanganku.

Aku menahan napas sambil menunduk, dalam hati berdoa, semoga tidak melihatnya. Namun lagi-lagi tuhan tidak mendukung itu. Ternyata dia masih disana, masih mengobrol dengan teman cowoknya.

FATHULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang