"Maaf Bu, saya lihat di brosur, sekolah ini menyediakan beasiswa, apakah itu benar?" Suara bass dibelakang menghentikanku yang sedang menyusun berkas-berkas. Aku menoleh karena penasaran juga dengan beasiswanya. Ah tidak tidak. Jujur saja aku lebih penasaran dengan suara itu.
"Iya benar, kamu mau daftar?"
"Iya bu" Katanya sambil menunduk.
"Baik kalau begitu. Mau beasiswa apa? Ada hafidz, akademik, olahraga, beasiswa kurang mampu, dan beasiswa yatim piatu"
"Hafidz"
Terlihat Bu Ratna membulatkan matanya, aku menelan ludah.
"Kamu serius?"
Cowok itu mengangguk, masih di posisi yang sama.
Bu Ratna berdeham, menetralkan mimik wajahnya meskipun lawan bicaranya tidak melihatnya. Aku kembali merapikan berkas-berkas.
"Oke. Kalau begitu kamu ada tambahan berkas yang harus dibawa. Yaitu sertifikat hafidz. Kalau ngga bawa sekarang, besok juga gapapa"
"Baik bu, besok saya bawa"
Jujur saja aku iri. Dia 30 juz, sementara aku? Haha, masih juz 30. Aku pun ingin mendaftar beasiswa, namun aku masuk kategori middle class, yang artinya aku tidak punya berkas pendukung untuk beasiswa kurang mampu.
Prestasi? Ah, jangan ditanya. Aku lebih banyak bermain-main daripada belajar. Tapi di SMA ini, percayalah, semuanya akan berubah.
Hari pendaftaran ulang ini aku berkenalan dengan banyak orang. Salah satunya Habiba yang menjadi sahabatku sekarang. Yup. Secepat itu.
Jilbab lebar dengan manset ditangannya. Terlihat anggun dan sangat cantik. Apalagi pembawaannya yang lemah lembut, menambah inner beautynya. Aku sempat iri, tapi segera kualihkan karena semua wanita itu cantik dengan versinya masing-masing.
Ah iya. Sekolah ini bernama SMA Mutiara Taqwa. Salah satu sekolah swasta islam di Indonesia. Aku pernah bertanya tanya kepada siapapun yang berkenalan denganku. "Apa alasan kalian daftar ke sekolah ini?"
Ada yang menjawab disuruh orang tua, keinginan sendiri, dekat dari rumah, bahkan ada yang menjawab "gatau yang penting gue sekolah"
Tapi yang bikin aku tercengang "Aku ngga keterima di pesantren". Wow.
Dan siapakah yang menjawab itu?
Akhtar. Panggilannya Atar.
Katanya, dia keturunan orang Timur Tengah dan Eropa. Aku mikir "Ah masa iya?". Tapi kalau dilihat-lihat masuk akal juga. Tapi kok bisa tidak diterima di pesantren? Padahal biasanya sekolah paling welcome menerima anak blasteran.
Aku sempat berkata wow sebelum pikiranku melayang ke arah suara bass yang aku dengar tadi pagi. Dia ada disini, didepanku. Dengan posisi khasnya (menunduk).
Melihatnya seperti itu, aku jadi bertanya-tanya, apakah aku pantas mendapatkan pasangan yang selalu menundukkan pandangannya sementara aku sendiri tidak?
Lebih baik jangan terlalu berharap. Karena aku ingat bahwa jodoh adalah cerminan diri.
Aku pun memalingkan muka demi menghindari pikiran tentangnya. Tapi otak dan hati memang tidak bisa diajak kerja sama.
PLAK!!
Lebih baik aku menampar diri sendiri daripada terus terusan begini. Habiba menatapku heran. Biarlah.
Namun situasi malah semakin tidak terkendali.
"Maaf apa saya boleh bertanya?"
Tolong!! Perutku melilit!!

KAMU SEDANG MEMBACA
FATHUL
EspiritualAku pernah berpikir, apakah aku pantas mendapatkannya? Apakah dia lauhul mahfudz-ku? Pantaskah orang sepertiku bersanding dengannya? Genre: Spiritual, Romance, Chicklit, Young Adult ----------- Note: °Ini karya pertamaku, kritik dan saran dipersi...