Bab 16 - Lemah

14 2 0
                                    

Aku bersyukur tidak jadi bercerita kepada mbak Dewi. Ah, mungkin ini bisa dibilang trust issue. Sehingga menjadikanku sulit percaya kepada orang lain. Meskipun ya... Mbak Dewi malah memberikan nomor ponselnya padaku. Sebenarnya aku masih bingung, kok bisa bisanya orang yang baru dikenal gini... Bisa terjalin pendekatan intens begitu?

Sehabis dari toko tadi, aku memilih bersembunyi dibalik gang kecil demi menampar diri sepuasnya. Terhitung sudah lebih dari 20 kali, tak apalah jika pipiku sudah merah.

Ya Allah... Kenapa masih kepikiran? Apakah aku harus ke rumah sakit saja sekarang?

Ting!

Aku merogoh kocek dan mendapati nama adikku disana.

Aku sama Bunda bakal lama diluar, kemungkinan pulang malem, hahaha kasian ga ikut! Stay home ya! Jangan nangis!

Aku terkekeh pelan, dasar bocah! Dia mengirim pesan lagi.

Tenang aja, kata Bunda 'Amel jangan rakus, sisain buat Kakak, atau ngga, Bunda beliin pizza 1 box khusus buat Kakak' Ihh parah Bunda!!

Mereka memang berencana having fun di malam weekend. Dan Bunda tentu saja mengajakku, bahkan memaksaku. Tapi aku menolaknya dengan alasan banyak tugas, padahal aku hanya tidak ingin menunjukkan wajahku yang sudah memerah. Atau jika nanti otakku memikirkannya lagi, mau ditampar bagaimana? Mereka pasti menganggapku gila.

***

Aku duduk di kursi pengunjung setelah mengirim pesan pada kakaknya. Lama tidak dibalas, saat kutengok lagi ternyata centang satu. Aku mengembuskan napas gusar, dan tiba-tiba rasa malu itu datang menyerang. Membuat rasa bersalah semakin memuncak.

PLAK!!

"Aww"

Desisku meringis kesakitan saat membuka cadar dan mengambil kaca mungil di saku. Terlihat merah lebam disana. Aku menutup cadar kembali, disentuh perih, tak ditampar tak sadar.

Aku rasa tidak masalah jika harus membuat lebam di seluruh tubuh jika dengan cara itu, kesadaran diriku naik. Huh, lebih baik aku pulang saja.

"Kamu anak yang kuat, kamu harus bangun!"

Aku menghentikan langkah saat mendengar isakan seorang perempuan dari arah belakang. Entah kenapa rasanya ngilu, tapi aku berusaha untuk tak acuh dan melenggang pergi.

"Astagfirullah, kakak saya kenapa?!?"

PLAKK!!

"AHH!!!" Pekikku. Makin lama makin perih saja. Tapi tunggu... Apa teriakanku tadi terlalu keras? Astagfirullah!

"Adek gapapa?" Seorang wanita berseragam putih yang tidak lain adalah dokter datang seolah-olah aku adalah korban kecelakaan.

"Gapapa, saya gapapa, saya permisi, Dok. Terima kasih. Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

Aku berlari sekencangnya, diiringi buliran air mata yang jatuh. Tidak, tidak hanya air mata, tetapi air langit pun turut mengeluarkan isinya.

Aku tertunduk dengan napas tersendat. Sepi. Rumah sakit ini sepi. Tapi sungguh aku tidak peduli!

Embusan angin yang cukup kuat, menerbangkan buliran air hujan yang jatuh, mengenai pakaianku, bersatu dengan air mata.

Tumpah sudah semua kekesalanku. Pada manusia yang bernama Aulia. Kenapa setan begitu kejam menggoda imanku? Apa aku saja yang lemah?

Ya. Aku lemah. Aku sangat lemah. Aku... Aku sangat lemah!

Ya Allah... Hambamu ini sangat lemah!
Ya Rasulullah, Umatmu ini sangat lemah!
Ya Sayyidatina Fatimah Az-Zahra, aku gagal menjadi pengikutmu! Aku sangat lemah!

Ya Allah... Tolong bantu aku...
Aku sudah tak sanggup...

***

Lelaki yang bernama Fathir itu duduk termenung di samping ranjang kakaknya. Setelah diberitahu dokter bahwa dirinya boleh pulang, sekarang kakaknya yang sakit. Fathir menghela napas pelan, berusaha sabar.

Dokter bilang Fatih hanya kelelahan, dan boleh pulang jika sudah membaik. Tapi tetap saja, Fathir sebagai adiknya sangat cemas dengan kondisi kakaknya itu. Apalagi wanita yang membawa kakaknya tadi mengatakan jika Fatih belum makan dan minum sama sekali, ia terus bekerja tanpa sedikitpun istirahat.

Terlihat pergerakan pada bola mata Fatih, Fathir segera mendekatkan dirinya dan memegang erat tangan kakaknya.

Perlahan matanya terbuka, beberapa detik mulutnya bergerak seperti mengucapkan sesuatu namun tak didengar, hingga akhirnya berhasil diucapkan.

"Adek" Lirihnya. Tangannya mengusap air mata yang menetes pada pelupuk mata adiknya.

"Kok nangis? Katanya ngga cengeng" Fatih terkekeh.

"Mana dong Adeknya kakak yang katanya kuat itu?"

Fathir menunduk sejenak, kemudian menatap wajah kakaknya sendu.

"Kalau kangen bapak atau ibu, bukan dengan cara mencelakai dirimu sendiri seperti itu" Ucapnya dengan suara bergetar.

Fatih menarik napas panjang, menahan genangan air mata di pelupuk, seperti bersiap-siap untuk mengeluarkan seluruh emosi negatifnya.

"Emang kakak pernah mengajarimu seperti itu, hm?... Diajarin siapa kamu sampai berbuat nekat seperti itu?... KAMU PIKIR YANG KEHILANGAN HANYA KAMU?" Fathir yang terkejut dengan perubahan nada suara kakaknya langsung mengendurkan genggaman tangannya.

"Kakak juga kehilangan!! Tapi apa kakak pernah berbuat bodoh dengan membuat percobaan bunuh diri?!?" Seperti ditusuk ribuan peluru, Fathir tertunduk, mulutnya seolah terkunci. Ia tahu saat ini kakaknya sudah benar-benar marah. Karena jujur, ia sendiri sangat jarang melihat kakaknya marah.

"Maaf kak" Lirihnya

***

Lelaki itu mengusap air matanya dengan sedikit kasar, lirihnya beristighfar, matanya sudah sembap, ia menetralkan napasnya yang masih tersendat.

Langkah kakinya terayun, berjalan keluar dari ruang inap. Sejenak terhenti saat berada di tempat dimana perempuan itu menangis mengkhawatirkan kakaknya, ia tersenyum tipis, kemudian berjalan lagi. Matanya menangkap tetesan air hujan yang terlihat dari jendela. Ia melangkahkan kakinya, dan membuka pintu utama rumah sakit.

Ia melebarkan pandangannya, menghirup bau tanah, lalu memejamkan matanya. Ketika hati sudah terlanjur sakit, ketika jiwa dan raga sudah lelah. Tidak ada lagi yang bisa membuatnya tersenyum, apalagi tertawa. Semuanya terasa hampa, dan tak berarti.

Lelaki itu membuka matanya, mencoba untuk tersenyum, meskipun gagal. Ia menurunkan pandangannya. Terlihat seorang gadis disana, terduduk dengan posisi memeluk lutut, seketika bayangan melintas dibenaknya. Bayangan ketika ia melihat seorang gadis yang seperti kesakitan memegang pipinya, meskipun dalam posisi membelakanginya. Dengan baju yang sama, lelaki itu tahu dialah orangnya.

Perlahan ia menarik kedua sudut bibirnya. Melihat hari yang sudah malam, membuatnya sedikit mengernyitkan dahi.

'Kenapa dia belum pulang ya? Apa dia ketiduran?' Gumamnya.

'Bahaya kalau saya tinggal, tapi kalau saya disini juga bahaya, nanti yang ketiganya setan'

Ia terdiam sejenak untuk memikirkan sesuatu sebelum akhirnya mengulum senyum.

FATHULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang