2,5 tahun kemudian...
Hari ini sekolah pulang lebih cepat karena guru-guru rapat kelulusan kelas 12. Demi mengusir kebosanan aku pun pergi menuju lapang basket. Niat hati ingin memantulkan bola basket sesuka hati sendirian, tapi sesampainya disana...
Aku terpana, mataku menatapnya lekat-lekat, dan terkunci hanya padanya. Tangannya sungguh lincah memainkan bola basket sendirian. Aku menunduk, mustahil sekali aku menghampirinya. Aku pun berlalu pergi meninggalkan lapang basket.
Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku yang sebentar lagi akan menurunkan setitik demi setitik peluh mata.
Aku masih menunduk, nyaliku begitu ciut, niat hati ingin mengutarakan isi hatiku padanya lewat secarik surat, namun aku sudah mundur duluan. Aku pesimis, meskipun aku tahu bahwa aku bukan tipenya dan aku pun menerima jika dia tidak menyukaiku. Tapi entah kenapa aku...
Tangisanku semakin deras. Aku terduduk lemah di kursi taman siswa. Rasanya aku ingin pindah sekolah. Atau... Apa saja yang bisa melepaskanku darinya.
"Assalamualaikum"
Aku tidak menoleh dan terus menunduk. Aku tahu siapa itu. Menahan perasaan selama hampir 3 tahun terlalu sakit.
Aku menjawab salam lirih sambil memejamkan mata kuat-kuat, tidak boleh mataku bertemu dengannya.
Namun sepertinya dia sudah pergi, aku membuka mata untuk memastikan. Ternyata benar. Tapi disampingku tertinggal lembaran surat. Aku membukanya.
Assalamualaikum, Aulia. Izinkan aku bertemu orang tuamu malam ini untuk melamarmu.
***
"Apa Ayahmu sudah tau kalau kamu akan dilamar?" tanya Bunda setelah aku menceritakan isi surat tadi siang sambil menangis.
Aku menggeleng, "Segera beritahu Ayahmu ya, dan bilang aja ke calonmu, nanti kalau Ayahmu sudah datang, dia boleh datang kesini" aku mengangguk dan pergi ke kamar untuk menelepon Ayah.
"Ayah sudah tau. Hari ini Ayah sedang di perjalanan ke rumahmu, Kak"
Aku terkejut, darimana dia tahu nomor Ayahku?
"Oh iya, Kak, Ayah mau ngomong sesuatu dulu sama Bunda, boleh kasih HP nya sebentar?"
Aku berpikir sejenak, khawatir.
"Gapapa, Kak, kasih aja" bujuknya. Aku menurut walau ada rasa cemas.
Aku memperlihatkan HP, mata Bunda membelalak. Kemudian Bunda menyuruhku masuk ke kamar dulu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut lagi.
"Rujuk?"
1 kata yang sukses menusuk ulu hatiku. Telingaku masih menempel pada pintu kamar. Terdengar samar-samar tangisan di arah sana, Bunda sedang menangis.
Aku tergopoh menuju kasur dan bergelut dengan selimut. Mengapa hari ini banyak kejadian yang tak terduga?
Hatiku belum siap menerima jika Ayah dan Bunda bersatu kembali.
"AMEL PULANG!" teriak Amel yang suaranya bisa menembus tembok kamarku.
"LOH, KOK BUNDA NANGIS?" lagi-lagi dia berteriak.
Dan aku masih gergelut dengan selimut kesayangan, aku tak berani keluar kamar, aku tak berani jika menunjukkan mata sembabku pada Bunda atau Amel.
Ya tuhan... Sejujurnya aku masih tidak percaya jika dia, orang yang selama ini aku kagumi... Melamarku? Apakah ini mimpi?
Mataku semakin berat, aku membuka selimut demi menghirup udara segar. Namun akhirnya aku jatuh kedalam dekapan kasur yang lembut.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
FATHUL
SpiritualAku pernah berpikir, apakah aku pantas mendapatkannya? Apakah dia lauhul mahfudz-ku? Pantaskah orang sepertiku bersanding dengannya? Genre: Spiritual, Romance, Chicklit, Young Adult ----------- Note: °Ini karya pertamaku, kritik dan saran dipersi...