Bab 13 - Rindu

13 2 0
                                    

Setelah mimpi kecelakaan itu, otakku sulit untuk tidak memikirkannya secara positif. Padahal, sudah sebulan ini aku di IPS, semuanya baik-baik saja. Hubunganku dengan Habiba dan Rayya pun baik-baik saja.

"Rapat kedua pemilihan calon ketua OSIS" Kata Habiba sembari memasukan sendok berisi bakso itu ke mulutnya.

"Jujur nih. Kalau ngga dapet adiknya, kakaknya juga gapapa" ujar Rayya sambil memutar sumpitnya, kemudian memasukkan mie ayam itu ke dalam mulutnya.

Aku yang tiba-tiba tidak nafsu makan hanya diam mematung. Mataku menerawang, entah dasar api mana yang membuat dasar hatiku panas seketika.

"Ray, Bib, aku ke toilet dulu"

Mereka berdua mengangguk. Sesekali aku menoleh ke belakang, Rayya yang aku kenal sebagai teman yang kalem dan tenang, kini sedang menceritakan sosok pria idamannya dengan wajah berbunga-bunga. Dan Habiba menimpali dengan berbinar pula.

Seharusnya aku baik-baik saja mendengarnya, seharusnya aku tidak cemburu pada hal yang jelas-jelas tidak pasti! Tapi kenapa...

Seandainya aku tidak masuk ke sekolah ini.
Seandainya aku tidak mengenalnya.
Seandainya...

***

Dan disinilah aku, berjalan sendirian tanpa arah. Menatap lalu lalang murid-murid yang baru pulang sekolah. Menatap hiruk pikuk pedagang yang mulai mengemas dagangannya.

Ku ambil langkah menuju kursi di dekat pohon dan mendudukinya. Saat kuputuskan untuk memakai earbuds, terdengar isak tangis yang tertahan dibelakangku.

Seolah menyambar ulu hati, dadaku rasanya sesak, napasku tercekat di tenggorokan.

Dia...
Dia dibelakangku...
Dengan tangan yang mengepal
Dengan mata yang terpejam
Dengan air mata yang berusaha ditahan

Udara terasa berat untuk dihirup
Langit-langit mendung yang menambah suasana sendu
Tetesan air mata yang sedari tadi ditahan
Kini menunjukkan eksistensinya

Tangannya terangkat, mengusap wajahnya gusar
Seluruh tubuhnya bergetar, dan menjambak rambut frustrasi

Seluruh tubuhku merasakan perih, sesak.
Mataku buram oleh tangisan
Hatiku hancur, hancur lebur

Dia menarik napas panjang dan berdiri
Meskipun masih tersedu sedan, langkahnya dengan mantap berjalan
Aku mengikutinya dengan hati-hati

Hingga tibalah kami disini, di sebuah pemakaman umum
Aku membeli bunga juga agar bisa memasuki kuburan tanpa dicurigai

Aku tetap mengikutinya dari jauh hingga ia terdiam sejenak, mengambil napas lemah, dan berjongkok di samping salah satu makam.

Kebetulan nenekku juga dimakamkan disini, jadi sekalian saja berziarah ke makam nenek. Aku pun melakukan hal yang sama dengan dia.

Meskipun jarak kami jauh, tapi untung saja masih terlihat jelas. Dia mulai berkomat-kamit, kemudian menyiramnya dengan air dan menabur bunga.

Setelah itu hanya terdiam, matanya menatap lurus batu nisan dengan sendu. Selama ia terdiam, aku mulai membaca doa-doa, kemudian menyiram air dan menabur bunga.

Rasanya aku pun rindu dengan orang yang ada di bawah batu nisan ini. Namun aku sadar bahwa orang yang sudah meninggal tidak bisa bangkit kembali.

Air mataku kembali jatuh, disusul dengan suara isak tangis dari arah sana. Dia menelungkupkan kepala pada kedua tangannya.

Bahunya bergetar, sesekali kepalanya terangkat untuk mengambil napas.

"Ya allah" Lirihnya yang masih bisa aku dengar

Fath...
Aku baru pertama kali melihatmu menangis seperti ini
Rasanya pedih, ah, rasanya ingin berada di sampingmu sekarang, namun...

"Maaf aku belum bisa jadi anak yang baik" Ucapnya lemah dengan suara bergetar.

Setelah itu ia mencurahkan isi hatinya sembari bercerita. Tentang apa saja yang telah ia lewati selama ini, suka maupun duka. Hingga yang membuatku terharu, yaitu tentang perjuangannya dalam mempertahankan iman.

Setelah selesai bercerita, lelaki itu mencium batu nisan dan mengusapnya lembut. Kemudian melangkah pergi setelah mengucap salam.

Aku lagi-lagi meniru apa yang dilakukannya. Setelah mengucapkan salam, aku melangkah pergi juga dengan tetap mengikutinya dari belakang.

Aku melihat kakinya yang terus berjalan lurus sementara di depannya adalah sebuah penyeberangan yang artinya jika dia...

Tidak tidak! Aku mempercepat langkah hingga berkali-kali terjatuh karena tersandung bebatuan.

Mataku berusaha menangkap sosoknya yang semakin mendekat ke arah jalan raya.

"Aduhh"

Arrghh, lagi-lagi aku terjatuh. Ya Allah, selamatkan dia. Oh, Fathir jangan kau celakai dirimu sendiri, aku mohon...

BRUK!!

PLAK!!

TES!!

Lututku seketika lemas. Tubuhnya terpelanting hingga membentur batu besar. Mobil-mobil yang sudah penyok itu segera dialihkan agar tidak segera menjadi pusat perhatian. Meskipun dalam sekejap, orang-orang langsung berdatangan sambil memasang raut wajah penasaran.

Darah segar itu keluar dari kepalanya, seorang pria bertubuh tinggi besar mengecek keadaannya kemudian berteriak kepada pria lain untuk memanggil ambulans.

Napasku tercekat, kakiku terasa sulit digerakkan, semuanya tampak seperti mimpi, namun ini bukanlah mimpi. Ah, mimpi itu...

Ya Allah, tolong selamatkan dia...
Aku mohon...

Ambulans datang 5 menit kemudian, Fathir segera diangkat untuk dimasukkan ke dalam mobil. Darah yang tertinggal segera ditutupi oleh kardus kemudian dihalangi oleh garis polisi.

Aku yang sedari tadi hanya terdiam kaku kini tersadar, dia sudah pergi, aku harus menyusulnya kembali. Tapi bagaimana caranya? Sekarang sudah sore, Bunda pasti khawatir.

Ah, khawatir ya? Apakah iya? Bukankah Bunda membenciku dulu? Bukankah Bunda dulu bilang bahwa aku bukan anak yang berguna, melainkan beban. Tapi apakah sekarang, Bunda sudah benar-benar berubah?

Aku tersenyum tipis, mengambil hp, menekan aplikasi ojek daring dan menunggunya.

***

"Dimana adik saya?!?" Tanyanya dengan wajah panik.

"Adik mas sedang diperiksa oleh tim dokter. Mas bisa menunggunya sambil mengisi berkas-berkas ini dulu. Jika sudah, kasih saja ke bagian Administrasi" Salah seorang ners menyodorkan setumpuk kertas beserta pulpen, Fatih menerima sambil menghela napas.

Dia kemudian duduk di kursi pengunjung dan mengisi berkas itu, aku duduk disampingnya. Omong-omong, apakah perbuatanku salah? Tiba-tiba penyesalan itu datang menghampiri. Seharusnya aku tidak terus mengikutinya sampai sekarang. Seharusnya aku langsung pulang saja. Tapi kenapa rasa khawatir itu tidak bisa hilang?

"Assalamualaikum kak" Aku memberanikan diri berbicara dengannya untuk pertama kalinya. Setelah sebelumnya hanya mengulum bibir.

"Waalaikumsalam" Jawabnya tanpa menoleh.

Aku tersenyum, dasar adik kakak, kelakuannya sama.

"Eum, perkenalkan kak, nama saya Aulia, biasa dipanggil Lili. Eum, saya temennya Fathir. Eum, saya boleh ikut jenguk Fathir?" Ucapku hati-hati karena takut dikira cewek aneh-aneh.

Dia masih fokus menulis, aku kembali tersenyum mengingat sifatnya yang benar-benar persis seperti adiknya itu.

"Boleh, tapi saya izin dulu sama orangnya" Jawabnya.

"Wahh, beneran kak? Terima kasih ya" Kataku sambil tersenyum tulus. Dia mengangguk.

Seorang pria berseragam putih terlihat keluar ruangan, Fatih segera berdiri dan menyerahkan berkas-berkas itu kepada Staf Administrasi Medis.

"Mas, ada yang masih kosong" Ucap staf itu namun ditulikan oleh Fatih yang berlari menghampiri dokter itu.

"Adik mas masih kritis"

FATHULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang