Bab 3 - Fath

34 3 2
                                    

"Kau begitu sempurna, dimata ku kau begitu indah
Kau membuat diri ku, akan s'lalu memuja mu"

Aku menyanyi sambil memegang pundak Habiba seperti main ular-ularan, mungkin dibenaknya aku menyanyi tak jelas. Tapi sungguh tidak sama sekali! Batinku menyiratkan sesuatu.

"Disetiap langkah ku, ku 'kan s'lalu memikirkan, diri mu
Tak bisa ku bayangkan hidup ku tanpa cinta mu"

Dia hanya tertawa melihat tingkahku yang konyol.

Hari ini aku lebih bersemangat karena kemarin, sepulang sekolah, aku, Rayya, dan tentu saja Habiba jalan-jalan ke mall! Hahaha. Malamnya Habiba dan Rayya menginap di rumahku. Seru sekali!

"Habibie kemana Habiba?" candaku, tangan mulusnya mencubit pipiku. Kami pun tertawa bersama-sama. Bahagia sekali.

Habiba salah satu cewek lemah lembut tapi cool yang aku kenal, sifatnya keibu-ibuan sekali, karenanya kadang aku menyebutnya Bunda. Dewasa sekali.

Sementara Rayya campuran aku dan Habiba, netral.

Sedangkan aku, sungguh, kekanak-kanakan sekali!

Ahhh seandainya Habiba sekelas denganku, menggantikan si Fath yang selalu mengganggu pikiranku! Pasti hari-hariku di sekolah akan selalu lebih indah.

Eh... Lebih indah ya? Ah tidak juga sih.

Mungkin lebih tenang menghadapi hari. Karena sungguh, jika ada dia, aku merasa gugup tak karuan, sampai-sampai aku bisa mendadak introvert.

Pintu kelas dibuka, kelas sudah riuh, semuanya sibuk, sibuk menjahili temannya. Ada yang main kejar-kejaran, lempar botol, lempar kertas, main petak umpet. Sungguh tidak seperti stereotip anak IPA yang dikenal masyarakat hahahah.

Bel masuk berbunyi, tapi guru belum juga masuk. Anak cowok kompak keluar, kecuali Izzat, dia anak baik! Dan... Fath tentunya!

Eh?

Dimana doi?

Aku bergegas melihat buku agenda kelas di meja guru.

What?? Whyy???

"Li, antar ke toilet, yuk!" Aku menurut tanpa mengangguk.

Sambil berjalan pikiranku menganalisis agenda kelas, dan menanyakan pada diri sendiri atas apa yang terjadi.

BRUK!

"Eh, sorry, Li" Aku mendongak, ternyata daritadi aku melamun sampai tidak memperhatikan jalan.

"Eh, Li, kirain udah di depan" Rayya yang mungkin sudah duluan bergegas menghampiriku.

"Eum, gapapa" Aku menjawab orang yang menabrakku.

Rayya memberi isyarat 'duluan ya' sementara aku daritadi hanya memasang ekspresi datar, seperti tidak punya gairah. Meskipun orang yang menabrakku tadi adalah salah satu cowok idaman paling ganteng menurut hasil pengolahan data polling cewek-cewek SMA Mutiara Taqwa dari seluruh angkatan!

Iya, dia Akhtar, siapa lagi coba?

"Kamu kenapa sih, Li? Lagi PMS? Perasaan tadi pagi ceria aja" tanyanya penasaran

'Gatau mungkin gara-gara Fath' jawabku dalam hati.

"Cerita sini, Li, aku kan sahabat kamu. Kok kamu jadi lesu gini? "

"Mending kamu pipis dulu aja sana" dia menghembuskan napas panjang

Aku menunggu diluar, di wastafel. Aku melihat wajahku di cermin, ternyata benar, se-terlihat itu kah? Apa wajahku transparan?

DORR!!!

"ISSHHH!!!" refleks tanganku melayang, lalu mengepal tangan karena aku bukan supermen, ya mau ngapain? Ngajak berantem?

"PMS ya Lo!"

Bombastic side eye mode ON.

"Apa sih, Ver? Baru sekolah kok ngajak berantem? Punya Kiko?" candaku setengah marah. Dia tertawa.

"Kata si Atar, Fath ngga sekolah ya?"

"Hah? Atar?" Mulutku menganga

"Iya, kan dia bestinya Fathir, masa ngga tahu sama bestinya sendiri"

"Eumm.." Aku menimbang antara 'mending tanya aja ke dia soal Fath, atau tidak"

Kalau aku nanya, aku takut dia tahu soal perasaanku, tapi kalau tidak, aku setengah mati penasaran.

"Aku duluan ya" ucap Vera yang bersamaan dengan Rayya keluar

"Kamu gapapa kan?" tanya Rayya seolah memastikan lagi

"Emang aku keliatan sakit gitu, Ray? Aku cuma lagi banyak pikiran aja, udah, ngga usah kamu pikirin"

***

Malam harinya aku disuruh Bunda pergi ke warung, awalnya aku menolak karena sudah mengantuk, tapi Bunda mengeluarkan jurus serigalanya, akhirnya aku menurut.

Ternyata diluar banyak bintang, banyak sekali, ada bulan purnama juga. Benar-benar malam yang indah! Biasanya suasana langit seperti ini cocok untuk dijadikan bahan bucin bagiku. Membayangkannya saja sudah membuatku kenyang, kenyang senyuman.

Tapi ingat, itu hanya HALU!

Aku berjalan ke warung sambil bolak-balik melihat ke langit dan mengejar bulan purnama, karena, siapa sih yang tidak suka dengan langit penuh bintang? Apalagi jika bersama dengan orang terkasih....

Jika semakin kukejar, semakin kau jauh (jangan nyanyi)
Aku akan berhenti sejenak, jika kau membalikkan badan, aku tersenyum
Namun jika tidak, aku akan tetap tersenyum
Karena dengan ada atau tanpa kamu, aku masih punya cinta
Yaitu cinta pada diriku sendiri

Jadi tenang, jangan risau, karena sesungguhnya jodoh tak akan kemana!

Aku melihat kedepan, loh, terlalu fokus melihat bintang dan melamun sampai tak sadar aku sudah berjalan terlalu jauh!

Duh, kebiasaan Lili.

Namun, ini bukan sial, ini keberuntungan, jelas ini keberuntungan yang sebenarnya!

Aku berjalan semakin dekat ke arah mobil hitam dekat sebuah apotik, lalu semakin dekat, dekat, dan dekat...

"Mbak, ini resep dari dokter saya, bisa tolong carikan obatnya"

Ya tuhan... Aku ingin meleleh seperti keju mozarella, jika kamu lapar, gigitlah aku!

"Ini dik obatnya"

"Terimakasih mbak"

Tolong jangan pergi dulu...

BRUKK

"Astagfirullah"

TOLONG TENGGELAMKAN AKU SEKARANG JUGA!! AKU INGIN PINGSAN!!

Aku menunduk menahan malu, sementara dia mengambil obat-obatannya yang jatuh. Duh, sepertinya wajahku sudah merah padam.

Entah kenapa aku tak berani mengangkat wajah padahal dia juga tak pernah melihat wajahku.

ARRGH!!! TOLONG AKU!!

Akhirnya aku berani mengangkat wajah karena melihat dia yang tak beranjak dari posisinya.

Aku takut, bingung, bercampur rasa bersalah. Aku takut tabrakan tadi yang bikin dia sekarang berjongkok lesu dengan tangan bergetar! Aku khawatir, cemas, gelisah, ARRGHHH!!

Dia bukan tipe yang senang berpegangan dengan cewek, bahkan dia memang sama sekali belum pernah menyentuh cewek. Makanya aku bingung, aku ingin menolongnya, tapi aku sadar diri, aku ini cewek!

"Anu... Fath..." Aku menggigit bibir dan menangis.

Namun dia tidak merespon.

Tangisanku semakin deras. Namun tak berani bersuara. Jangan sampai dia tahu kalau aku menangis. Jadi aku semakin keras menggigit bibir.

Ya Allah...
Rasanya aku ingin berpindah posisi saja
Biar aku yang sakit

Dia berdeham dan mencoba berdiri.

Mataku sudah buram karena tangisan, tapi aku tahu, aku tahu tatapan mata Fath, aku tahu.

Dia berjalan, dan pergi meninggalkanku tanpa menengok kebelakang, tanpa berucap apapun.

Air mataku semakin banyak, tapi aku masih menggigit bibir, sampai dia benar-benar pergi menjauh.

FATHULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang