tujuh belas

604 80 25
                                    

"SING!!"











Jleb!









"ARGGGGGGHHH!!!!"









Brug!













Davin mengerang kesakitan, tubuhnya ambruk ke tanah. Darah mengalir dari punggungnya yang terkoyak akibat ditusuk oleh belati miliknya sendiri.

"Zayyan!" Sing beranjak duduk, menatap Zayyan dengan tatapan terkejut.

Apa itu tadi? Zayyan menusuk Davin dari belakang?

Zayyan menusuk Davin?

Zayyan yang biasanya menepuk nyamuk pun tak tega, sekarang pria itu malah menusuk temannya sendiri?

"Arrgghh!" Erangan kesakitan Davin menyadarkan Sing dari lamunannya, dia kemudian bergegas menghampiri Davin yang masih meringkuk kesakitan.

Sing duduk berlutut, membawa kepala Davin ke pangkuannya. Tangannya bergerak menangkup pipi Davin agar atensi pria itu sepenuhnya tertuju padanya.

"Pin, lo bisa denger gua kan?" Sing menelisik ke arah mata Davin yang berganti menjadi warna coklat

Sebenarnya dia masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada Davin. Sejauh ini yang dia pahami adalah jika mata Davin berwarna coklat maka itu adalah Davin yang dia kenal, dan jika matanya berwarna hitam pekat, Davin akan berubah menjadi seorang psikopat gila.

"Jay..yann..." Davin mengabaikan pertanyaan Sing, dia lebih memilih untuk menatap lurus ke arah Zayyan yang sudah berlinang air mata.

"....ma...kasih." Lanjutnya sambil tersenyum manis.

Zayyan menatap takut-takut ke arah Davin. Belati yang dia genggam jatuh begitu saja karena genggamannya melemas. Jantung Zayyan berdetak dua kali lebih cepat, dia merasa takut dan bersalah.

"HUAAAAA.. Maaf!" Tangisan Zayyan semakin pecah, dia berhambur ke pelukan Davin. Tak henti-hentinya Zayyan menggumamkan kata 'maaf'. Insting Zayyan untuk menyelamatkan Sing seakan menyuruhnya untuk menusuk Davin dari belakang, dia terlalu takut Sing akan terluka jika dibiarkan lebih lama.

Davin menggeleng lemah. Mengelus puncuk kepala Zayyan dengan sayang. "G-gua e...mang.. Ha-harus dibu..nuh.. Supaya ga b-bunuh.. S-siapap-un la..gi..." Lirihnya.

Zayyan mendongak menatap Davin dengan tatapan tajam. "Enggak! Jangan ngomong gitu!" Sewot Zayyan tidak terima. Dia memang menusuk Davin, tapi bukan untuk menghabisi pria itu melainkan untuk menyelamatkan Sing.

Davin terkekeh disisa tenaganya. "G-gua... Sshhhh... Ga kuat... " Kedua tangan Davin kemudian terulur untuk menggenggam tangan Sing dan Zayyan seerat yang dia bisa.

"K-kalian.. Harus se..selamat.." Davin menatap Zayyan dan Sing bergantian, hingga matanya tak sengaja menangkap Wain yang tengah menatapnya dengan penuh kebencian.

Davin tersenyum kecut. Setelah semua yang dia lakukan, wajar jika Wain membencinya. Yah.. Meskipun semua yang terjadi diluar kendali Davin. Sungguh, dia tidak mengerti. Tubuhnya seperti dikendalikan oleh seseorang, dia bisa merasakan dan melihat apapun yang tubuhnya lakukan, tapi sialnya Davin tidak bisa berbuat apa-apa. Davin seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

"Lo tenang aja, lo bakal ikut selamat bareng kita." Sing mengeratkan genggaman tangannya dan Davin.

Hal itu membuat hati Davin menghangat, pria itu mengangguk menanggapi ucapan Sing. "G-gua... Udah selamat..." Davin tersenyum senang sambil perlahan-lahan menutup matanya yang terasa berat.

Zayyan bisa merasakan hangat nafas Davin menerpa wajahnya, hingga kemudian hilang.

Davin menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuan Sing, dan dalam pelukan Zayyan.

"Davin!" Sing menepuk-nepuk pipi Davin berharap pria itu kembali membuka matanya.

Tapi nihil, Davin tidak merespon.

Zayyan mengeratkan pelukannya, menenggelamkan kepalanya di dada bidang milik Davin, berharap sesuatu berdetak di dalam sana.

"DAVIN BANGUN!" Zayyan mengguncang tubuh Davin dengan kuat. Rasa bersalah kian menghantuinya, tidak bisa dipungkiri kalau Zayyan lah yang sudah membunuh Davin.

Sing meletakkan kepala Davin ditanah perlahan, Davin sudah tidak bisa diselamatkan. Tidak ada gunanya lagi menangisi seseorang yang sudah mati.

Sing mengalihkan atensinya ke seseorang didepannya yang masih terus mengguncang bahkan memukuli dada Davin, dia menahan pergerakan Zayyan dan membawa pria itu kedalam dekapannya.

"Sttt..." Sing mengelus punggung Zayyan yang bergetar karena menangis. Sebenarnya Sing sedikit takut mental teman-temannya yang masih hidup akan terguncang karena kejadian hari ini.

Di lain sisi, Wain menyaksikan semua yang terjadi dalam diam, dia memilih untuk mengabaikan mereka bertiga dan berjalan ke arah mayat Beomsoo yang mulai dikerubungi lalat.

Entahlah, Wain tidak merasa sedih atas meninggalnya Davin. Dia malah merasa senang karena orang yang membunuh teman-temannya juga pada akhirnya dibunuh.

Wain berjongkok didepan mayat Beomsoo, menangkup kedua pipi Beomsoo yang dingin dan mendongakkan kepala kaku pria itu.

Dia menatap sendu ke arah mata Beomsoo yang bolong, seakan-akan masih ada mata yang memandanginya disana. "Lo liat kan? Gua hidup, persis kaya yang lo pengen." Lirih Wain.

Sial, Wain masih bisa mengingat dengan jelas kedua bola mata Beomsoo yang selalu menatapnya dengan tatapan lugu. Diantara semua teman-temannya, Beomsoo lah yang paling mengerti dirinya.

"Gua juga nepatin janji buat balik lagi dan jemput lo." Tangan Wain tergerak mengusap pipi dingin Beomsoo.





Greb!









Zayyan memeluk Beomsoo erat, dia kehilangan tiga temannya hanya dalam waktu satu hari, ini masih terasa sulit untuk dipercaya.

Sing memilih untuk merangkul pundak Wain, berusaha memberinya kekuatan. Sing tau Wain lah yang paling harus dikhawatirkan saat ini.















Pada akhirnya mereka kembali berduka.

















"Ini baru permulaan."

Mereka bertiga menoleh ke sumber suara.









To be Continue

Yang penting apa? Yang penting update tiap hari😁 nyambung atau nggaknya urusan belakangan.

Nanti kalo udah tamat rencananya mau aku revisi biar jalan ceritanya lebih nyambung hehe, dengan kata lain kalian lagi baca versi amburadulnya

PING! | XodiacTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang