SATU : Si Homo

16.9K 397 9
                                    

"Aretta tetap gadis yang gila."

— Dari Aretta, untuk Aretta.

***

Aman, tidurku tercukupi.

Ini yang terjadi ketika aku baru saja merasa lega jadi lulusan Sekolah Menengah Atas. Di mana untuk pertama kalinya Om Laksamada menjadi waliku dalam acara perpisahan yang diselenggarakan.

Dalam lamunan nyawa yang memang belum terkumpul sepenuhnya, aku terngiang beberapa obrolan tipis yang keluar dari mulut orang-orang di sekolah. Itu seperti :

"Ganteng banget!"

"Pantes enggak pernah dekat sama cowok, ternyata sudah punya yang lebih matang."

"Si Cantik punya si Om Ganteng."

Begitulah pemikiran para beban negara sepertiku yang biasa disebut sebagai Gen Z. Padahal bisa saja mereka menyebut Om Laksmada sebagai paman atau kakak laki-lakiku, bukan? Meski kalau dilihat dari cara berpakaian Om Laksmada memang rada mirip dengan duda kaya raya beranak satu —TAPI TETAP SAJA! Di mataku semua orang menatapnya dengan penuh kekaguman.

Namun ada satu ucapan yang membuatku kepikiran sampai sekarang. Yaitu ketika salah satu temanku bilang, "Lu melanjutkan hidup dengan cara ngerebut suami orang enggak bakal berakhir happy ending, Ta. Mending cari yang setara aja, karena dari cara berpikir pun, bakal beda setelah kalian bersama."

Sebenarnya aku tidak memikirkan hal itu sampai begitu jauh, karena rencanaku setelah lulus ini adalah menjadi muridnya Om Laksmada di universitas yang sedang dia abdi. Sebab bagaimana pun, memang ada kemungkinan aku diusir dari rumahnya kapan saja.

Makanya, meski tetap menanamkan rasa kepercayaanku padanya. Aku tetap berjaga-jaga untuk terus memanfaatkan peluang yang ditawarkan. Jika saja seandainya hal itu terjadi, setidaknya aku punya gelar dan kemampuan untuk bekal hidup tanpa Om Laksmada.

Tapi itu hanyalah prediksi tak berguna, meski Om Laksmada mengancamku mau kawin lagi, aku tidak akan pernah meninggalkannya satu senti meter pun.

Ya, inilah aku. Aretta si gadis simpanan Om Laksmada yang masih dia pertahankan untuk kami tetap tinggal bersama.

Om Laksmada membiarkanku sendirian di rumah setelah acara perpisahan selesai, dia bilang ada urusan akreditasi prodi yang harus diselesaikan dalam tenggat waktu cepat. Aku juga tidak pernah komplain tentang itu, jadi setelah memilah isi pikiranku terhadap apa yang terjadi hari ini, aku akhirnya sudah bisa merasa sadar kembali.

Cermin besar yang berada pada lemari bajuku merupakan tempat di mana aku tahu betapa berantakannya sore ini. Kancing seragamku terbuka semua dengan bra warna hitam yang tak terubah posisinya, ada banyak jejak merah yang menghiasi leher sampai payudaraku. Dari yang warnanya sudah memudar, sampai dengan warna yang paling terbaru.

Siapa lagi yang melakukan itu selain si pemilik rumah ini? Bohong kalau kurasa ada kenikmatan di baliknya, sebab tiap kali Om Laksmada menggigitku, tak terlepas dari rengekkanku yang ingin dia segera mengakhirinya.

Yang terbaru adalah di leher atas dekat rahang kiriku. Warnanya masih merah sekali di sana. Itu dia lakukan setelah acara perpisahan selesai dan juga sebelum dia berangkat ke universitas. Kurasa  Om Laksmada memang sejak lama mengincar tempat itu, sayangnya tak bisa dia lakukan sembarangan karena aku masih sekolah.

OM LAKSMADA 2Where stories live. Discover now