TIGA PULUH : Anak Kita? [END]

1.2K 137 56
                                    

Intinya, kamu mau
apa sama anak ini?

🔞🔞

Ini masih sangat sering terjadi ketika aku pulang dari kampus. Padahal, aku sudah berkali-kali memukul kepalaku agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Sayangnya, meski hal itu sering dilakukan, lagi-lagi jalur pulangku berakhir ke rumah yang dulu pernah kami tempatinya.

Aku menghembuskan napas saat motor yang kugunakan sudah berhenti di halaman rumah. "Goblok. Goblok akut," gertakku menunjuk diri di kaca spion motor.

Sejenak aku menghirup udara sedalam mungkin sambil mendongak dan menutup mata. Meski tidak membantu dalam mengurus suasana hatiku, setidaknya aku bisa menahan diri untuk tidak memukul kepalaku yang ke sekian kalinya.

"Eh?" Hingga kemudian aku menemukan sesuatu yang aneh di pelataran rumah. "Seperti ... anak kecil?"

ANJIR JANGAN BILANG JASAD ORANG MATI?!

Atau ....

JANGAN BILANG ITU HANTU DI RUMAH INI?!

Sebenarnya aku sangat ingin kabur, tapi entah kenapa aku juga tidak mau mengabaikan sesuatu yang sudah terlanjur aku lihat. Jadi, aku turun dari motorku untuk mendekati sosok tersebut. Semakin dekat, aku seakan mampu mengenali siapa dia yang sebenarnya.

"Kelvin?!" Ah, benar! Anak kecil yang hidup bersama nenek-nenek yang menyelamatkan nyawaku saat itu.

Tapi kenapa dia di sini? 

Dan ... di mana neneknya?

"Kelvin?" Aku memangku tubuh mungil itu, di mana perlahan dia membuka mata dan berusaha merespons kepanikanku yang begitu membara.

"Kakak ...." Dengan tangan mungilnya yang gemetar, dia menyerahkan secarik kertas untukku.

Sejenak aku membacanya.

Bjir lah! Ya Tuhan!

Nenek Kelvin sudah meninggal dunia.

🔞🔞

Aku yakin jam pulangku akan jadi telat sedikit dibandingkan Om Laksmada. Buktinya, mobil pria tersebut sudah terparkir rapi di halaman rumah kami yang baru —dalam posisi yang nyaris presisi milimeter, khas perfeksionisme seorang Om Laksmada —sementara aku baru sampai ketika senja hampir habis, meninggalkan sisa-sisa cahaya jingga yang perlahan disapu gelap.

Alasan keterlambatanku sederhana dan penuh tanggung jawab, yaitu: aku harus memastikan Kelvin, si bocah kecil yang aslinya lebih cerewet daripada radio rusak mendapat makan dan minum yang cukup. Bayangkan saja kalau Kelvin sampai menghembuskan napas terakhir di pelataran rumah kami. Apa tidak menyala jantungnya Om Laksmada?

Ini adalah pertama kalinya aku menekan bel sebelum masuk ke rumah. Padahal, aku bisa saja langsung menyelonong seperti biasa. Tapi tidak mungkin kalau sambil menyeret Kelvin masuk ke dalam, bukan? Jadi aku ingin Om Laksmada melihat kami dulu, di mana responsnya tampak begitu kebingungan dengan sesuatu yang kubawa.

"Apa ini, Aretta?" tanyanya, sambil menggulung lengan kemejanya yang berwarna hitam sampai ke siku, lalu dia melipat tangan di depan dada.

"Anak, he he," jawabku.

Dia mengangkat satu alis. "Bicara yang jelas."

Aku menarik napas dalam, lalu menjawab dengan segenap keberanian. "Anak kita."

"Uhukk!" Dia langsung tersedak napas sendiri, seperti baru saja menelan kenyataan pahit yang tak terduga. Tangannya reflek terangkat, menutupi mulutnya yang hampir mengeluarkan suara batuk keras. Beberapa detik berlalu, dan dia mengalihkan pandangannya ke arah lain, mungkin sedang mencari logika yang tertinggal di udara.

OM LAKSMADA 2Where stories live. Discover now