DUA : Rekan Kerja Bangsat

15K 387 14
                                    

Aku membuka mata dengan perlahan, menghadapi mentari yang lembut masuk melalui jendela. Di mana pada sudut ruangan, sebuah meja belajar kokoh berdiri dengan hiasan buku-buku yang bertumpuk tebal dan menanti untuk dijelajahi.

Sementara itu, aroma harum kopi menyelinap dari sudut kamar, menarik perhatianku ke mug berisi cairan hitam yang bersiap di atas meja belajar. Tak hanya itu, beberapa catatan dan materi ujian masuk universitas telah tersusun rapi di sekitarnya.

Saat tanganku meraih secangkir kopi, pandanganku melintasi judul-judul buku yang ada di meja belajar. Pergulatan dan semangat menyala dalam diri untuk menyusuri halaman-halaman ilmu yang akan membentuk langkah-langkah pertama menuju mimpi pendidikan tinggi.

Meski Om Laksmada sering menawarkanku untuk segera menjadi istri mudanya, aku hanya memiliki firasat bahwa ada sesuatu yang mengkhawatirnya menimpa kami sebentar lagi. Terkadang, apa yang kutebak bisa selalu benar terjadi, dan aku hanya perlu waktu untuk mencari tahu gambaran ke depannya nanti bagaimana.

Makanya, aku memilih mendaftar kuliah. Di mana tempat itu ada Om Laksmada-nya. Jika lulus, aku bertekad menepati janjiku untuk bertahan sampai akhir. Dan jika tidak, aku akan minta Om Laksmada menikahiku di hari pengumuman yang penuh kegagalan itu.

Omong-omong, sejak kejadian di dapur semalam, aku dan Om Laksmada bersikap seperti penghutang dan penagih hutang. Wajahnya terlihat kesal sekali padaku. Sehingga pada akhirnya aku juga agak marah karena dia seakan mau menuduhku yang macam-macam.

Itu sepertinya terus berlangsung, di mana Om Laksmada masuk ke kamarku dan duduk di bangku belajar. Kami berhadap-hadapan sekarang, aku juga tidak berniat untuk kabur darinya. Jadi semasam-masamnya wajah Om Laksmada sekarang, tetap manis di mataku apalagi kalau dia sesekali sedang meradang begini.

"Kamu kesiangan," katanya.

Aku melihat ke arah jam dinding, lalu mengerutkan kening dan kembali menatap lawan bicaraku. "Lebih baik ketimbang sebelumnya, tahu," kataku.

Memang benar kok. Kalau kemarin, atau minggu lalu, bahkan berbulan-bulan sebelumnya. Paling cepat aku bangun jam 6.50 pagi, dan paling parahnya di jam 2 siang. Kalau harus dibandingkan dengan hari ini, tentu itu permulaan yang baik.

Aku tahu saja kalau Om Laksmada sengaja mempermasalahkan suatu hal yang lain karena efek dari masalah sebelumnya yang memang belum kelar di antara kami berdua. Itu seperti : "Aku enggak ngapa-ngapain semalam, sumpah," ucapku.

Om Laksmada melipat tangan di depan dada. "Kalau begitu, kenapa enggak membangunkan saya? Kamu itu kebiasaan kalau melihat yang dewasa, langsung nempel-nempel saja sembarangan," katanya.

Benar, 'kan? Dia ini mau aku mengakui kecurigaannya itu, sementara kalian tahu sendiri apa yang sudah terjadi semalam, bukan?

Aku melihat seorang homo.

Sekali lagi, HOMO.

Ini kenapa Om Laksmada lebih curiga kepadaku ketimbang dengan temannya sendiri sih?

"Aku 'kan udah bilang, letak Om itu ada di tengah-tengah dosen yang lain. Gimana mau datangin?" tanyaku.

Dia tidak menyahut lagi setelah itu, melainkan mendorong kedua bahuku hingga jatuh ke atas kasur. "Pelan-pelan," ingatku. Namun sepertinya Om Laksmada jadi tuli, dia duduk di atas perut bagian bawahku dan membuka baju tidur yang lagi-lagi harus dirusak oleh ulah tangannya sendiri.

"Om?" Aku menahan bahunya dengan begitu kuat, jika kemejanya terbuat dari bahan organza, bisa saja langsung sobek karena rematan yang kulakukan.

"Saya mau lihat jejak Pak Naresh," katanya.

OM LAKSMADA 2Where stories live. Discover now