TIGA : Instrumen Penelitian

13.1K 388 10
                                    

Dulu, personil sarapan di rumah ini pasti ada tiga orang. Pertama adalah aku, si Gadis Gila yang dilempar hak asuhnya ke orang lain hingga berujung ketempelan dengan Om Laksmada.

Kedua, pria yang memiliki rumah ini, yaitu Om Laksmada. Di mana dia tidak pernah mengancam akan mengusirku lagi seperti dulu. Mungkin, kalau aku tidak ada, dia bingung mau ngentot sama siapa -eh?!

Dan terakhir, ada Om Lukas yang merupakan saudara kembarnya. Aku tidak tahu bagaimana orang-orang dewasa mengurus kepemilikan dari rumah warisan keluarga mereka. Tapi yang pasti, semenjak tragedi penuh 'keanjingan' itu, Om Lukas tidak pernah datang ke rumah ini lagi.

Makanya, kupikir setiap pagi hanya ada aku dan Om Laksmada saja. Tapi ternyata, ada satu manusia bangsat yang join dengan kami bersama embel-embel dialah yang menanggung sarapan saat ini.

"Sebagai permintaan maaf, gue beli makanan kesukaan lu," katanya sambil mengeluarkan beberapa kotak makan dari kantung plastik warna putih berukuran besar.

Mungkin, Om Laksmada merasa tak enak atas pandanganku dari seberang mereka yang seperti mau menyumbangkan tubuh Pak Naresh ke RSJ. "Mau sampai kapan kamu memandangi tamu seperti itu?" Maka dari itu dia lebih memilih untuk menegurku ketimbang menjawab ucapan dari rekannya.

Pak Naresh terlihat berhenti dari aktivitasnya, lalu dia menatapku kembali dengan wajah tak berekspresi. "Ini yang namanya Citul?"

"Heh!" Pak Naresh ingin melempar kotak makan yang dipegangnya setelah mendengar apa yang kukatakan. "Ini hm bocil yang bikin lu klepek-klepek?" Dia duduk dan memegang bahu kanan Om Laksmada.

"Sudah. Langsung saja sarapan," ucap Om Laksmada sambil menepis tangan Pak Naresh di sana.

"Sidih. Lingsing siji siripin." Terang-terangan Pak Naresh mengata-ngatainya, lalu dia membuka kotak nasi dengan tenaga malas-malasan.

INI SIH MANUSIA LEBIH SANTUY KETIMBANG AKU, YA!

"Aku gak percaya, kalo ini Pak Citul yang Om ceritain," kataku.

"Jangan panggil saya begitu, hanya Laksma saja!" tegurnya.

"Hidih, kayak panggilan sayang, tahu! Enggak! Enggak boleh!"

"Saya balas kamu kalau lulus di Teknik Informatika, terutama di kelas saya ...."

"Sudah." Akhirnya Om Laksmada menyela perdebatan kami. "Saya tadi bilang apa?" Pertanyaannya membuat kami sedikit tertunduk.

Bahkan, tak ada satu pun di antara kami yang menjawab. "Aretta." Makanya, dia menyebut namaku setelah.

"Langsung saja sarapan," jawabku.

"Citul." Lalu dia menyebut nama rekannya.

"Langsung saja sarapan," jawab Pak Naresh.

"Ya sudah." Kemudian Om Laksmada mengambil suapan yang pertama sebagai tanda sarapan memang seharusnya dimulai. Mau tak mau aku dan Pak Naresh ikut menyantap sarapan kami.

"Aku alergi udang," cicitku saat menyadari isi osengan sayur di kotak makanku ada udangnya.

"Sini." Di mana Om Laksmada langsung bergerak untuk mengambil alih bagian konsumsi tersebut. "Enggak ada yang bisa makan udang di sini, alergi kami sama," katanya sambil meletakkan udang-udang itu ke piring milik Pak Naresh.

Kulihat, Pak Naresh meliriknya dengan wajah tak senang dan bertanya, "Bocil zaman sekarang pada bisa main pelet, ya?"

"Seharusnya begini, Pak. Mon maap aja nich, pelet dari cewek itu bisa aja dilakukan kalau cowok yang ditaksirnya ternyata homo," sahutku.

OM LAKSMADA 2Where stories live. Discover now