•••
"Berjanji itu mudah tapi tidak murah."8.
Kring, kriing, kriiing!
Di ruang tengah, dering suara telepon menginterupsi aktivitas Odi yang sedang membaca buku karangan Carlo Collodi. Bacaan yang kata ibunya, ia sukai saat kecil dulu. Boneka kayu yang hidungnya akan memanjang ketika berbohong.
Bukunya ditutup. Odi yang duduk tak jauh dari telepon, bangkit untuk mengangkatnya. Seingatnya selama tinggal di sini, belum pernah ada yang menelepon sepagi ini.
"Halo?"
Odi menunggu respon dari sang penelepon.
"Halo nak, ini ibu."
"Ibu Nara?" Pemuda itu menaikkan alis sebelah. "Bukankah belum sejam ibu meninggalkan rumah," tanyanya sembari melirik jam di dinding.
"Sepertinya ibu lupa sesuatu. Saat sampai di restoran, ibu baru sadar dompet kecil ibu tidak ada. Ibu menelepon untuk memastikan dompetnya ada di rumah atau tidak."
Odi ber-oh panjang sebelum merespon lagi. "Terakhir ibu ingat taruh dompetnya di mana?
Sejenak ada jeda, sepertinya Nara sedang berpikir di seberang telepon sana.
"Eum, Ibu tidak yakin. Tapi ibu ingat membawa dompetnya keluar kamar. Setelah itu.." Nara menggantung ucapannya. "Ah, iya! Setelah itu ibu membuat sarapan. Jadi coba periksa area dapur atau meja makan!"
Odi lekas mengangguk.
"Baiklah, tunggu sebentar. Jangan tutup teleponnya." Odi bergegas ke bagian belakang rumah. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan menggenggam sesuatu di tangannya.
"Dompetnya ketemu, ada di atas kulkas."
Pemuda itu mendengar suara napas lega dibalik telepon. "Syukurlah. Usia memang tidak bisa bohong." Nara tertawa kecil.
"Kalau begitu ibu akan pulang. Ibu tak bisa pergi ke luar kota jika tak membawa kartu akses dan tanda pengenal," lanjut wanita berusia 46 tahun tersebut.
"JANGAN!!!" Odi berseru tanpa sadar, dan ia cukup yakin membuat Nara terkesiap olehnya.
"Ibu tak perlu kesini, biar aku saja!"
"Apa maksudmu, nak? Ibu tentu tak mengizinkan."
Sesuai dugaan, yang didapatkan pemuda itu adalah penolakan. Tapi bukan sifatnya jika mudah menyerah.
"Ayolah, bu. Biar aku saja," bujuk Odi sekali lagi.
"Tidak-tidak! Terlalu berbahaya, apalagi kamu belum pernah ke sini."
"Aku pernah kok!" celetuk Odi tak sabar.
"Eh?"
Odi menggaruk bagian keningnya. "Ah, bukan begitu. Aku hanya ingin ibu memberiku kesempatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
LINKED; || bertautan
Aktuelle LiteraturDisebabkan kecelakaan ketika berumur sembilan, Darius Odiseta terbaring di atas ranjang selama tujuh tahun. Saking tak adanya harapan siuman, keluarga yang menunggu dihinggapi rasa putus asa. Di tengah kebimbangan mengikhlaskannya pergi demi kebaika...