•••14.
"By the way asal lo tahu nih, denger lo pakai aku-kamu langsung ngingetin gue sama Kota Aksibumi. Cara bicara lo sama kayak orang-orangnya."
Deg.
Odi yang saat itu tengah meneguk minuman bersodanya hampir tersedak. Tak menyangka bisa mendengar nama kota itu lagi setelah sekian lama. "A-Aksibumi?"
"Yap, kota kelahiran nyokap sekaligus tempat gue pindah. Hampir kayak Jakarta sama Bandung, letak Jior-Aksibumi juga deketan. Setahu gue orang-orang di sini nyebutnya kota sebelah."
Odi mengangguk menanggapi informasi tersebut, mencoba bersikap biasa saja walau sebenarnya sudah tahu.
"Bilang yah kalo bingung, nanti gue jelasin satu-satu," sambung Alan. Ia berjaga-jaga seandainya Odi kurang mengerti.
"Tak perlu khawatir. Bukan bermaksud sombong, tapi otakku bisa diandalkan. Aku bisa paham banyak hal dalam waktu singkat."
Alan mengulas senyum mendengar penuturan Odi lalu menaikkan dua jempol, "Mantap!"
"Kamu bilang aku mengingatkanmu pada kota Aksibumi, memang ada apa di sana?" tanya Odi. Ia pikir akan aneh jika terkesan menghindari topik ini.
Sebelum menjawab Alan mengubah posisi duduknya menjadi bersila di atas kursi. Agak random tapi biarkan saja.
"Singkatnya sekitar beberapa tahun setelah negara kita merdeka, Jior yang sebelumnya termasuk wilayah Aksibumi resmi jadi kota independen. Jior misahin diri dari Aksibumi yang dikenal keturunan darah biru."
Alan kembali melanjutkan. "Gue bilang darah biru karena dari pengalaman selama tinggal di sana nuansanya masih belum modern gitu, ala-ala zaman kerajaan Majapahit kalau mau hiperbola. Apa-apa diatur, bahkan cara ngomong aja sampai ada aturannya. Sumpah deh, orang ekspresif kayak gue gak cocok tinggal di sana. Gak bebas. Makanya setelah lulus SMP gue pikir-pikir lagi mau lanjut."
"Terus?" Odi tertarik ingin mendengar lebih banyak.
"Setelah itu pemerintahan Kota Jior mulai bikin kebijakan dan aturan sendiri, tapi yang lebih fleksibel. Maksudnya gak seketat Aksibumi."
Saat bercerita, Alan terlihat luwes seakan sudah terbiasa. Tangannya yang tak bisa diam adalah salah satu buktinya.
"Dua dekade berlalu, kota Jior akhirnya bisa dikatakan bebas dari bayang-bayang mantan. Jadi kayak kota baru. Dalam proses itu, perlahan menjadi hal wajar bagi teman sebaya kayak kita pakai bahasa santai. Gue sih lebih pilih ini karena obrolan jadi kedengeran asik," tutupnya disertai senyuman.
Selama penjelasan itu, Odi sesekali mengangguk paham sekaligus takjub pada otak Alan yang ternyata terisi banyak hal. Kemampuan public speaking-nya mungkin di atas rata-rata. Odi jadi merasa bersalah sempat mengira Alan hanya tong kosong nyaring bunyinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LINKED; || bertautan
Algemene fictieDisebabkan kecelakaan ketika berumur sembilan, Darius Odiseta terbaring di atas ranjang selama tujuh tahun. Saking tak adanya harapan siuman, keluarga yang menunggu dihinggapi rasa putus asa. Di tengah kebimbangan mengikhlaskannya pergi demi kebaika...