Bag 22. Everything everywhere

519 78 25
                                    

Hidup Juan terasa hampa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hidup Juan terasa hampa. Di sudut kamar, Juan termenung di sebelah ranjang, duduk bersandar menghadap jendela—kepalanya mendongak menatap langit-langit kamar. Matahari pagi yang bersinar hangat pun sudah terpancar di balik tirai berwarna putih. Juan menghela napas panjang, lalu mengembuskan asap berwarna putih dari mulutnya. Kehampaan ini membuat Juan semakin hilang.

Juan terus bertanya. Bagaimana caranya menghadapi dunia ini? Ingatan yang membuatnya terkurung di dalam kelopak, sudah merekah. Jati diri Juan berguguran, terbang ke sana kemari menentukan akhir hidupnya.

Juan memalingkan wajahnya, menatap jam di dinding. Sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, Juan harus bergegas menuju ke sekolah. Bagaimana pun juga, ia harus menjalankan hidupnya, toh hanya butuh beberapa waktu saja sebelum semuanya berakhir.

Pukul tujuh pagi, Juan tak lagi menggunakan busway seperti sebelumnya, dengan leluasa ia pergi menggunakan motor hitamnya. Juan melaju dengan kecepatan tinggi, lalu sampai di sekolah setelah lima belas menit. Seperti perkiraan Juan, ia terlambat, pintu gerbang sudah ditutup. Namun, ia tetap menunggu sampai akhirnya, seorang satpam membukakan gerbangnya dan menyuruh Juan masuk untuk melapor pada guru yang bertugas.

Terkesan masa bodoh. Juan melenggang begitu saja, menuju kelasnya. Ia sudah ketinggalan beberapa menit pelajaran, baginya waktu adalah uang, yang harus ia gunakan sedemikian rupa. Sesampainya di dalam kelas, Juan masuk melalui pintu belakang, suasana yang sebelumnya ramai pun mendadak hening, secara kompak beberapa murid di antara kelas 3-A dan guru matematika memutar kepalanya ke belakang.

"Maaf, saya terlambat," ucap Juan.

Semua murid dibuat kaget pada sikap Juan. Saat mereka masih duduk di kelas sebelas, jangankan meminta maaf, lelaki itu bersikap acuh dan ketus meskipun berbuat salah, ya tak menutup kemungkinan Juan masih sopan kepada guru.

"Iya. Jangan buang-buang waktu, silakan duduk!" titah guru itu.

Juan menganggukkan kepalanya, lalu duduk sesuai perintah guru tersebut.

Dengan segera Juan menyiapkan buku pelajarannya, seperti biasa ia selalu mengabaikan seluruh teman sekelas. Sampai akhirnya, ia mengalihkan pandangannya ketika seseorang meletakkan buku catatan di meja Juan. Dengan wajahnya yang datar, Juan memandang Luna cukup lama.

"Catatan kemarin. Kamu, kan nggak masuk sekolah," ucap Luna tersenyum sangat manis.

Juan tak menerimanya secara langsung, ia berpikir sejenak tentang, bagaimana orang-orang ini bisa bersikap baik padanya? Apa bersosialisasi itu penting?. Juan pun tersenyum tipis, lalu berkata"terima kasih." Tangannya menerima buku itu. Sudah saatnya Juan meninggalkan kesan untuk orang-orang di sekitarnya.

Sementara itu, Luna sangat senang, dan tak berhenti mengulas senyum manisnya. Menurutnya setelah kejadian beberapa hari itu, Juan jadi lebih peduli padanya.

Setelah satu jam lebih duduk manis mendengarkan guru menerangkan pelajaran, akhirnya waktu istirahat tiba. Semua murid di kelas 3-A berbondong-bondong keluar dari kelas menuju kantin, kecuali Juan yang menetap di dalam kelas saja. Ia kembali merenung, memandang ke luar jendela dengan satu tangannya yang menyangga dagu.

LIFE LIKE A PETAL ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang