Aku menarik kursi di seberang Suga. Lelaki itu lebih dulu menyantap makan malamnya. Kutuang secangkir air dan meminumnya. Kami beradu pandang, namun lelaki itu lekas mengalihkannya.
Aku mendesis. "Aku bangun pagi-pagi buta. Membereskan rumah, membuang kotoran Holly, menyiapkan sarapan. Lalu kita sarapan bersama, makan siang aku sendirian karena kau di Agensi. Lalu makan malam denganku. Ya, meskipun itu sangat jarang. Bukankah ini terlihat seperti hubungan suami-istri?" Aku tertawa.
Suga menaruh sendoknya. Lelaki itu menatapku dengan alis berkerut. "Apa itu yang kau hayalkan selama di sini?"
Tawaku pecah. "Aku?" Kutunjuk wajah dengan sumpit yang kupegang. "Aku hanya bercanda. Untuk apa aku menghayalkan hal seperti itu. Kau bukan tipeku."
Kali ini, dia berdecak kesal. "Aku heran kenapa kita tidak pernah berbaikan. Maksudku, secara harfiah kau adalah pelayan di sini. Kau seharusnya menghormatiku."
"Ya! Kita seumuran. Kita hanya perlu menjaga privasi masing-masing. Aku tidak akan menghormatimu seperti membungkukkan setengah badan ketika kau lewat atau menggelar karpet merah ketika kau pulang." Aku mengibaskan tangan diudara.
Suga mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan. Dia melihatku seakan meremehkan. "Sebenarnya kau berbakat untuk menjadi bintang film dengan peran antagonis."
"Jika ada pekerjaan yang lebih mudah serta dengan hasil yang memuaskan kenapa aku harus bersusah payah melakukan akting dan menghafal dialog untuk bermain film?" Aku memasukan beberapa potongan kimchi ke dalam mulut.
Suga sudah selesai dengan makannya. Tetapi lelaki itu masih duduk di tempatnya. Seakan ingin obrolan ini, tidak! Maksudku perdebatan ini semakin berbuntut panjang.
"Kau merasa nyaman dengan menjadi seorang Sasaeng? Menguntit orang dan menyebarkan hal yang bersifat pribadi milik seseorang?" Dia tampak tak habis pikir.
Aku tersenyum di sela-sela kunyahan. "Aku bercanda. Dulu memang iya. Sekarang tidak."
"Kenapa?" Dia maju beberapa senti.
"Kenapa kau ingin tahu?" Aku balik bertanya.
"Kalau begitu tak usah dijawab." Dia akhirnya menyerah. Hal itu membuatku menyeringai puas.
"Hari itu, ketika kita kembali dari Apartemen Seokjin, kau bilang butuh bantuanku, kan?" Aku mengingat momen ketika dia meminta bantuan, tapi belum sempat kudengar apa itu, beberapa gadis datang ke kafe dan Suga terpaksa harus beranjak pergi. Sampai beberapa hari setelahnya aku belum sempat bertanya, jadi kupikir, lebih baik untuk menanyakannya sekarang.
"Tidak jadi," katanya.
Aku menjadi kesal. "Ck! Katakan saja!"
"Kenapa kau ingin tahu?" Dia mengulangi ucapanku beberapa menit lalu.
"Kalau begitu, tak usah dijawab!" Aku melakukan hal yang sama seraya meniru suaranya.
Dia tertawa. Aku kaget melihatnya. Sejak aku bertemu dengannya, ini adalah kali pertamanya aku melihatnya tertawa. Begitu lepas dan ringan. Matanya tertutup ketika tertawa. Kedua bahunya berguncang sementara kedua tangan memegangi dada.
Dia berhenti setelah beberapa detik. Aku masih melihatnya dengan seksama. "Apa tadi? Kau baru saja tertawa?" Aku tak menyangka.
Raut wajahnya berubah drastis. Begitu dingin tanpa ekspresi. "Apakah terlihat aneh?"
Aku mengangguk. "Terlihat seperti bukan dirimu. Tunggu sebentar, apa kau salah makan?" Aku meraih piring kotor di hadapannya. "Apa aku salah memasukan obat?"
Mendengar ucapanku barusan membuat alisnya berkerut. "Jadi kau memasukkan sesuatu ke dalam makananku?"
Aku berdiri dan membawa piring kotor ke wastafel. "Jangan berlebihan. Kau harus bedakan hal serius dan candaan. Hidupmu terlalu kaku. Sama seperti wajahmu," kataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are You A Sasaeng?
FanfictionFANFICTION OF BTS SUGA ~ Dua puluh juta won dalam satu Flashdisk yang hanya berisi beberapa foto dan rekaman video. Bagiku, itu adalah tawaran yang teramat menggiurkan. Bodoh sekali jika aku menyia-nyiakannya. Hal-hal bersifat privasi mengenai Akto...