"Bapak, aa capek si mamah nyuruh aa belajar wae." Aksa berlari kepada bapak yang sedang menyeruput kopi di teras. Waktu itu, Aksa berumur 7 tahun."Baru beberapa menit juga," timpal mamah dari dalam. Di samping mamah, ada Juan yang sedang tidur sambil minum susu.
Bapak terkekeh mendengarnya, sedangkan Aksa sudah cemberut sembari bersembunyi di tubuh bapak. "Terus aa hoyong naon ayeuna?" tanya bapak sembari memangku tubuh Aksa.
Keluarga bapak sedari dulu memang sebisa mungkin mengajarkan anaknya bahasa daerah, yaitu bahasa sunda yang baik dan sopan. Untuk nanti kedepannya bapak terserah anak-anak yang pasti bapak sudah sebisa mungkin mengajarkan.
"Aa hoyong ka sawah pak, ngurek." Yang dimaksud "ngurek" di sini, yaitu menangkap belut di sawah. Waktu yang pas untuk ngurek biasanya sore hari.
"Ah, aa mah hoyong ameng cai eta mah ka sawah teh." Aksa terkekeh. "Hayu atuh, ajak Bang Candra," titah bapak. Aksa lantas turun dari pangkuan bapak dengan gembira sembari berteriak memanggil Candra yang berada di kamarnya.
"Bang Candra! Hayuk urang main ke sawah bareng bapak!"
Suara teriakan itu masih diingat Candra hingga saat ini. Adik tengahnya yang tiba-tiba masuk kamar dengan kaos oblongnya tak lupa dengan senyum ciri khasnya yang membuat Candra menolak sadar jika anak kecil itu kini sudah kelas 12 SMA.
Sepasang nayanika nya pun menangkap pigura kecil yang ia pajang di meja belajar yang dimana ada foto bapak, dirinya, juga Aksa yang memandikan lumpur sawah dengan Aksa yang tengah memegang belut. Ia lupa siapa yang mengambil foto itu yang jelas senyum ketiganya sangat tulus sekali, sampai Candra lupa bagaimana senyum selebar itu sekarang.
Kehidupan dan perjalanan jelas tengah mengubah kepribadian Candra. Candra kecil yang sering tersenyum kini sudah menjadi Candra yang sedikit tertutup.
Ia terkekeh sembari terus memandangi fotonya. Hingga suara ketukan pintu terdengar. "Bang! Adek di suruh mamah buat panggil abang. Bapak bawa nasi goreng bang!" Candra sontak tersenyum. Lalu berjalan untuk membuka pintu dan langsung merangkul pundak Juan.
"Bapak beli banyak nggak?" candanya.
"Bapak bawa tiga."
Alis Candra mengkerut. "Kok cuma tiga? Kan di sini ada lima orang," herannya.
Juan mengedikkan bahunya. "Katanya, bapak bareng sama mamah, aa sama aku, terus Bang Candra kan anti banget kalau makan bareng. Jadi, abang sendiri aja." Ungkapan Juan membuat Candra sedikit tertohok. Tetapi memang benar jika ia tidak bisa makan dalam satu porsi oleh beberapa orang. Maka dari itu, tak jarang Aksa selalu menasehatinya untuk belajar supaya tidak seperti itu.
Candra hanya mengangguk. Keduanya lantas menghampiri yang lain di ruang keluarga. Barulah di sini Candra bisa melihat bahwa bapak, mamah, dan Aksa sudah mulai menyantap nasi gorengnya dengan duduk di atas karpet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa, Haechan
Teen Fiction"Setiap pengalaman akan membuatmu tumbuh, dan setiap penyesalan akan membawamu pada ruang keikhlasan." "Semua anak itu punya rasa sakitnya masing-masing. Entah itu abang, aa, atau adik. Jadi, urang nggak mau ngeluh di sini." Apa itu menyerah? Padaha...