Hayy, ketemu lagi bersama aku yang sering ilang-ilangan wehe.
Kalau ada typo, tolong kasih tahu yah.
Mungkin di chapter ini kita bisa contoh Juan?
Kan katanya, balas dendam itu memang untuk memuaskan diri. Tetapi, caranya tidak harus selalu menyakiti lagi.
Yowes guys, jangan lupa vote dan komennya 💗💗💗
Di belakang sekolah, Bagas sudah mengajak Juan untuk berbincang. Meluruskan segala permasalahan di antara keduanya. Kali ini, Bagas tampak lesu dari biasanya. Juan meringis ketika melihat jejak pukulannya yang terlihat memar di sana.
"Maaf, udah mukul," ucap Juan menyesal.
Bagas yang tengah menatap kosong ke depan dibuat menoleh. "Lo bikin gue tambah ngerasa paling jahat di sini," cibirnya. Juan terkekeh mendengar itu.
Keduanya bersandar di dinding sekolah yang sudah kotor dan berlumut. Entah sudah berapa lama tidak diperbaiki. Keduanya pun sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan atau kembali ke dalam kelas untuk mengurangi rasa penasaran teman-temannya.
"Sorry." Satu kata yang terlontar tiba-tiba membuat Juan bingung. Apa ini? Seorang Bagas sedang meminta maaf padanya? Detak jantung Juan sudah bekerja dengan cepat sekarang. Gugup tiba-tiba melanda hatinya.
"Maaf buat apa?" tanya Juan.
Helaan nafas terdengar. "Semuanya." Bagas menatap Juan. "Gue udah ganggu lo. Bahkan mungkin, gue udah bikin lo nggak suka berada di sekolah," jelas Bagas dengan penuh penyesalan.
"Kenapa kamu lakuin itu?" Juan bertanya sembari memalingkan wajahnya ke depan. Belum siap mendengar alasannya.
Terlalu banyak pertanyaan di kepala Juan yang selama ini tidak menemukan jawaban yang pasti. Kenapa Bagas selalu getol mengganggunya?
Bagas menatap luasnya sawah yang terbentang tidak jauh dari mereka. Lidahnya tampak kelu. Bahkan ia sendiripun tidak yakin dengan jawabannya.
"Gue terlalu bodoh dan ceroboh buat lampiasin semuanya ke lo, Juan saat Acel cerita. Sampai-sampai gue nggak mikirin perasaan lo yang ngerasa bingung dan takut." Bagas menghentikan ucapannya. Terdengar helaan nafas berat darinya. "Gue malah berharap kalau orang lain ngerasain apa yang gue rasain."
Kali ini, Juan menatap Bagas yang sudah menunduk lesu.
"Lo tau, Juan? Sorry, gue salah menilai lo. Lo itu nggak lemah dan gue tahu alasannya sekarang kenapa lo nggak pernah mau ngelawan gue."
"Apa?" tanya Juan penasaran.
"Lo benci kekerasan kan? Karena lo pernah liat kondisi dimana Aa lo menjadi korban pemukulan orang lain," jelas Bagas yang sontak membuat Juan terkejut.
Mata Juan melebar. Kedua pundak Bagas sudah ia pegang. "Kok kamu tahu?"
Bagas tersenyum sembari menurunkan lengan Juan di pundaknya. "Sebenarnya, malam itu gue juga ada di sana. Kabur dari rumah. Aa lo juga sempat nanya, katanya kenapa gue sendirian di luar malem malem? Terus dia kasih gue cuanki yang udah dingin karena katanya, cuman ada itu dan belum sempat dia makan gara-gara sibuknya kerkom." Bagas terkekeh jika mengingat itu.
"Waktu itu, gue nggak tahu kalau dia Aa lo. Sampai akhirnya gue tahu waktu dia jemput lo di sekolah," kata Bagas.
"Terus? Kamu tahu kenapa Aa bisa dipukulin?" Juan sangat penasaran akan hal itu karena Bang Candra maupun Aksa sendiri tidak pernah memberitahu alasannya, selain bahwa Aksa dipukuli preman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa, Haechan
Teen Fiction"Setiap pengalaman akan membuatmu tumbuh, dan setiap penyesalan akan membawamu pada ruang keikhlasan." "Semua anak itu punya rasa sakitnya masing-masing. Entah itu abang, aa, atau adik. Jadi, urang nggak mau ngeluh di sini." Apa itu menyerah? Padaha...