—Bang Candra—
17.00
Aksa mengetuk-ngetuk motornya dan beberapa kali melihat jam tangan yang kini sudah lebih dari waktu janjian. Padahal Aksa rela mengabaikan waktu rebahannya demi menjemput sang abang yang belum kelihatan batang hidungnya sedari tadi. Hanya ada mahasiswa dan mahasiswi lain yang berhambur pulang.
"Kemana si abang teh, tadi nyuruh buru-buru," gerutunya. Selain rebahan, Aksa punya hal lain, yaitu mencicipi masakan mamah. Karena hanya ia yang bisa makan segalanya. Seperti bahan percobaan memang, tapi Aksa tidak peduli yang terpenting ia menjadi orang pertama yang bisa merasakan setiap masakan mamah.
Kesal menunggu, Aksa memutuskan untuk menghubunginya. Baru saja ia menempelkan ponsel di telinganya, Candra datang dengan paper bag cokelat di tangannya. Mukanya sangat polos sampai Aksa ingin menciumnya.
"Sorry lama, tadi gue kumpul dulu," ucap Candra dan langsung menaiki motor Aksa, mengabaikan sang empu yang menggerutu yang sialnya masih terdengar di telinga Candra.
"Kalau mau marah mah, marah aja nggak usah ngedumel kek gitu. Lagian gue udah minta maaf."
Aksa sedikit terlonjak dan tersenyum paksa ke arahnya. "Aku maapin, soalnya dari tadi liat mbak mbak perawat yang Masya Allah," ujarnya.
Candra menggeplak helm Aksa. "Udah buru maju, cewek mulu," kesalnya. Aksa benar-benar tidak habis pikir dengan abangnya. Dia itu gampang sekali kesal, tetapi gampang juga untuk tertawa. Padahal sudah bagus Aksa mau menjemputnya, tapi masih saja kena omel. Aksa sampai bingung ini yang salah sebenarnya siapa?
Motor milik Aksa berbelok ke arah kiri di pertigaan dan tak lama terlihat perumahan "Indah Lestari." Di situ Aksa menepikan motornya membuat Candra bingung.
Seolah mengerti kebingungan abangnya, dari kaca spion Aksa menjawab. "Beli pesanan Juan dulu." Karena di depan perumahan sini memang banyak sekali penjual makanan.
Candra mengangguk dan memperhatikan Aksa yang kini tengah membeli cireng langganan Juan. Tidak terlalu lama, Aksa sudah kembali dengan kresek putih ditangannya yang langsung ia cantolkan di motor. Tidak mungkin ia menyuruh abangnya untuk memegang, karena baju seragam yang ia pakai hari ini berwarna putih.
Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang. Melewati sekolah SMP Juan, sekolah SD, dan barulah tidak jauh dari situ rumah mereka terlihat. Dan seperti yang diduga, di teras rumah, Juan sudah menunggu kedatangan keduanya. Lebih tepatnya cireng pesanannya. Slogan Juan itu, "cireng is my life" tapi slogan ini berlaku jika ada orang yang bisa ia titipkan untuk beli.
* * * *
Karena sudah terbiasa dengan ajakan bapak untuk shalat Maghrib di masjid, Aksa, Candra, dan Juan kini tengah berlari terbirit-birit menuju masjid. Padahal bapak sudah mengajak mereka dari sebelum adzan berkumandang. Tapi ketiganya malah sibuk menonton volly di TV. Alhasil seperti inilah jadinya.
Mereka bertiga langsung masuk shaf shalat paling belakang yang di mana sejajar dengan para bocil kematian. Baru saja imam mengucap takbiratul ihram, para bocah itu sudah menguji keimanan ketiganya dengan saling mendorong dan berakhir ada yang kentut. Hal itu berhasil membuat Aksa dan Juan tertawa meskipun pelan. Bang Candra pun ikut goyah karena suara kentutnya begitu syahdu.
Dengan penuh khidmat, Aksa dan Juan kembali shalat. Untung saja imam tidak salah dalam membaca surat. Para bocah itu sudah diamankan Candra supaya tidak berisik dan meminta Ridwan—bocah yang kentut tadi—untuk wudhu kembali.
Setelah uji keimanan yang ternyata goyah, shalat Maghrib pun terlaksana sudah. Tanpa basa-basi, Aksa dan Juan langsung berlari ke arah luar meninggalkan Candra yang masih anteng berdoa. Mereka berdua menghampiri para bocah yang sedari tadi sudah tertawa di luar.
"A Aksa, Kak Juan! Tinggali abdi boga petasan," seru bocah berkopiah miring.
"Ih, tahun barunage lama keneh," ujar Aksa, tapi ikut berjongkok meneliti kembang api stik yang ketika dinyalakan seperti percikan bintang-bintang atau nama kerennya, yaitu sparkling.
"Buru, a hurungkeun!" ujar si Ridwan yang kini telah ceria kembali. Sebelumnya ia tampak cemberut karena omelan Candra tadi.
"Sok nya."
Dengan penuh semangat, Aksa mengambil satu stik lalu ia nyalakan. Setelah itu ia dekatkan ke petasan para bocil itu termasuk Juan supaya langsung ikut menyala bersama.
Percikan-percikan cantik itu kini membuat sekitaran masjid tampak terang, dibarengi dengan tawa anak-anak yang terdengar tanpa beban di telinga Aksa membuat ia ikut tersenyum dan tertawa. Melepas dan melupakan fakta bahwa dewasa tidak semenyenangkan yang dipikirkan waktu kita kecil.
Dengan beberapa jepretan kamera ponsel, Aksa mampu mengabadikan momen malam ini dengan para bocah di kampungnya yang selalu menjadi langganan kemarahan Bang Candra.
"Kebahagiaan itu bukan selalu karena sesuatu yang mewah. Justru ketulusan dan bersyukurnya itu yang menciptakan seseorang tertawa."
Segitu dulu yah, sampai jumpa minggu depan dan di sosmed akuuu😗✊
06 April 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa, Haechan
Teen Fiction"Setiap pengalaman akan membuatmu tumbuh, dan setiap penyesalan akan membawamu pada ruang keikhlasan." "Semua anak itu punya rasa sakitnya masing-masing. Entah itu abang, aa, atau adik. Jadi, urang nggak mau ngeluh di sini." Apa itu menyerah? Padaha...