Embun masih menyelimuti pagi bahkan basahnya tanah sisa hujan kemarin malam membuat Aksa ingin terus bergumul dengan selimutnya, jangan lupakan dengan bye bye fever yang menempel di dahinya. Kejadian horor semalam ternyata mampu membuatnya demam.
Seharusnya jika meliburkan diri dari pembelajaran, saat ini ia sedang menikmati nyamannya kasur. Tapi ia harus terbangun karena ternyata hari ini bertepatan dengan kepergian Bang Candra untuk tugas prakteknya yang mereka bicarakan beberapa hari yang lalu.
“Hati-hati ya bang.” Mamah memeluk anak sulungnya dengan sedikit tidak rela ditinggalkan. Toh, nanti mamah harus tetap melepaskan satu persatu anakmya untuk mengejar mimpi. Mau bagaimana pun rasa beratnya mamah dan bapak harus tetap mendukung keputusan anaknya.
Candra menepuk-nepuk punggung mamah. “Mamah juga baik-baik di sini, Cuma sebulan kok abang,” ujarnya.
Pelukan hangat mamah itu akhirnya terlepas dan kini digantikan oleh bapak yang sudah menguatkan Candra lewat tepukan punggungnya. Sebuah isyarat dari bapak kepada anak sulungnya untuk senantiasa selalu kuat. “Buktikan kalau kamu bisa membantu mereka mengembalikan senyumnya, bang.” Perkataan bapak itu sukses membuat Candra mengangguk haru.
Dinginnya pagi ini pun terasa menjadi hangat dengan segala harapan yang dilambungkan. Lalu, Candra menatap kedua adiknya. Ia terkekeh melihat Juan yang sudah menangis, di sebelahnya ada Aksa yang justru menertawainya membuat Candra menggelengkan kepalanya.
Dengan perlahan, Candra menghampiri Juan dan memeluknya. Mengusap kepalanya pelan dengan segala mantra penenang. Dilanjutkan pada Aksa yang terlihat pura-pura tegar dengan mata yang sayu akibat demam. Padahal jelas-jelas Candra bisa melihat ada beberapa guratan perasaan yang tidak bisa ia tunjukkan.
Candra lantas memeluknya. Entah kenapa ia merasa bersalah hari ini. Ia pergi untuk tugas prakteknya sebagai perawat di salah satu rumah sakit Purwakarta dan kini ia harus meninggalkan anggota keluarganya yang sedang sakit. Apakah ini memang konsekuensi awalnya? Bisa merawat orang lain, tetapi tidak bisa merawat keluarganya sendiri.
“Cepat sembuh aa, supaya nanti bisa bantu bapak jagain rumah. Selagi abang pergi, tugas abang sebagai kakak diembankan dulu ke kamu. Entah itu menjaga adik atau membantu tugas rumah.”
Aksa mengacak-acak rambutnya asal. Perkataan Candra tadi pagi menjadi beban untuknya hingga siang yang mendung ini. “Disuruh menjaga apanya?” kekehnya sumbang. Nafasnya terasa berat akibat flu. Tapi namanya juga Aksa, ia malah memilih nongkrong di bawah pohon jambu yang semalam ditakuti itu.
Angin yang kembali berhembus terasa menusuk kulit dengan langit yang tinggal menumpahkan segala isinya. Sepertinya lagi-lagi hujan akan turun hari ini. Bukannya merasa terusir, Aksa justru tetap kukuh duduk di sana. Dengan segala kenakalannya, bahkan ia hanya memakai kaus pendek dengan celana training, padahal mamah sudah memperingatkannya untuk memakai pakaian hangat karena mamah takut Aksa akan tambah sakit. Semalam sudah cukup membuat mamah panik karena demamnya yang tinggi.
Aksa tidak peduli dengan angin yang mungkin akan membawanya kembali tumbang, karena yang lebih ia khawatirkan saat ini, yaitu si bungsu. Kemarin setelah mengantar Anin pulang ke rumah, ia mendatangi Juan di kamarnya untuk meminjam penyerut pensil, tapi justru yang ia dapatkan adalah Juan yang sedang mengolesi tangannya yang lebam. Dan sampai hari ini ia tidak berani bertanya maksud dari lebam itu. Apa mungkin ia bertanya saja pada Acel?
Di tengah lamunannya, satu pesawat kertas menimpuk kepalanya dan ternyata itu perbuatan Juan yang sedang menatapnya di teras rumah. Melihat wajah polos itu membuat Aksa ingin menangis rasanya. Apa orang-orang yang sedang sakit perasaannya memang sensitif begini? Ia jadi teringat perkataan Candra saat Aksa masih kelas 11. Waktu itu ia tiba-tiba dikeroyok preman karena melewati jalan yang gelap, pulang mengerjakan tugas kelompok. Kata-katanya berhasil membuat Aksa termenung sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa, Haechan
Teen Fiction"Setiap pengalaman akan membuatmu tumbuh, dan setiap penyesalan akan membawamu pada ruang keikhlasan." "Semua anak itu punya rasa sakitnya masing-masing. Entah itu abang, aa, atau adik. Jadi, urang nggak mau ngeluh di sini." Apa itu menyerah? Padaha...