"Rumah ini menjadi saksi bisu atas proses setiap orang untuk tumbuh dan sembuh."
—Candra Dwirangga—
Anin menggaruk lehernya kikuk. Di pinggirnya ada Candra yang tengah duduk dengan memperhatikannya. Mungkin ia berpikir bahwa siapa gerangan manusia satu ini yang bisa nyasar ke rumahnya. Iya, Aksa malah membawa Anin ke rumahnya. Katanya ingin meminta koreksi mengenai tugas bahasa Indonesia nya. Tapi kini, Anin jadi merasa bingung.
Dengan sepi, Anin memberanikan menatap Candra yang masih menatapnya. Hembusan angin menerpa wajah keduanya. Hingga teriakan dari dalam rumah membuat mereka menoleh dan tertawa ketika melihat Aksa yang jatuh karena tak sengaja menginjak mainan lego milik Juan dan berakhir menjadi serial power rangers, keduanya saling mengadu kekuatan.
Anin dan Candra kembali saling menatap tatkala menyadari satu hal dan terkekeh canggung. "Rame yah di sini?" Sampai akhirnya pertanyaan Candra diangguki oleh Anin. Sepertinya mengobrol sebentar dengan Bang Candra tidak salah. Karena jika dilihat, hanya ia yang waras di sini.
"Setiap hari mereka ribut terus, sampai mamah pernah mukul-mukul wajan buat berhentiin mereka, bahkan bapak dengan segala guyonannya sampai bawa kartu keluarga dan pulpen katanya mau coret nama mereka dari kartu keluarga," kekeh Candra. Jika mengingat hal itu kembali membuat Candra ingin tertawa puas apalagi kelakuan bapak yang tidak terpikirkan sedikitpun oleh Candra sebelumnya.
Anin yang melihat begitu bahagianya Candra lantas ikut tersenyum. "Terus udah gitu gimana bang?" tanya Anin penasaran.
Gelagat Candra terlihat mengingat-ingat sesuatu. "Udah gitu ya Aksa sama Juan tambah heboh apalagi melihat bapak yang udah membuka tutup pulpennya." Candra terkekeh lagi. "Sampai akhirnya mereka nyogok bapak dengan embel-embel mau mijitin bapak setiap pulang kerja," lanjutnya.
"Disetujuin sama bapak?" Candra mengangguk membuat Anin membulatkan mulutnya.
"Bahkan mereka berdua juga nepatin janjinya. Sampai sekarang masih pijitin bapak setiap pulang kerja," papar Candra. Lagi-lagi Anin dibuat terkejut dengan hal itu. Apakah ini adalah sisi lain dari seorang Aksa?
"Tapi Anin, justru karena orang lain sering liat mereka tertawa, abang jadi susah mengenali perasaan mereka. karena bisa dibilang mereka berdua berbeda dengan abang. Di saat abang selalu mengeluarkan semua ekspresi yang dirasa entah itu marah, kesal, dan sedih, mereka justru tetap tertawa dan bilang bahwa semuanya baik-baik aja." Suasana yang awalnya ceria kini terasa sedikit sendu. Anin bisa merasakan kekecewaan dari seorang Candra.
"Rumah ini menjadi saksi bisu atas proses setiap orang untuk tumbuh dan sembuh," ucapnya kemudian.
Anin dibuat terdiam dengan ucapannya. Pikirannya mengolah berbagai kata-kata. Kesenduan cerita Candra tampaknya ikut dirasakan tubuhnya. Ternyata keduanya memang sama-sama anak sulung. "Apa yang abang rasain tentang mereka?"
Candra menghela napas dan tersenyum kecil. "Entahlah, mungkin Juan masih bisa terlihat, tapi kalau Aksa, abang bingung. Setiap hari bawaannya selalu penuh dengan guyonan," jawab Candra. Anin mengangguk menyetujui hal itu. Meskipun mereka baru bertemu beberapa hari lalu, tapi Anin sudah merasa jika Aksa memang orang yang seperti itu.
"Tapi abang pernah lihat Aksa nangis," ucapnya kemudian.
"Kenapa tuh, bang?" tanya Anin antusias.
Dahi Candra mengerut yang berarti ia sedang berpikir. "Yah, waktu masih SD sih. Waktu itu Juan ngerebut mainnya yang Aksa dapat dari menggores kotak hitam yang ada bomnya, semacam lotre. Kamu tahu mainan itu Anin?" Anin mengangguk, pada zaman mereka SD memang banyak hal semacam itu. Ah, Anin jadi merindukan masa kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa, Haechan
Fiksi Remaja"Setiap pengalaman akan membuatmu tumbuh, dan setiap penyesalan akan membawamu pada ruang keikhlasan." "Semua anak itu punya rasa sakitnya masing-masing. Entah itu abang, aa, atau adik. Jadi, urang nggak mau ngeluh di sini." Apa itu menyerah? Padaha...