"Hati dan pikiran jelas menjadi musuh semua orang. Maka dari itu, kuasai keduanya dengan baik."
Anin selalu berpikir, bagaimana bisa orang-orang selalu meremehkan mimpi dan masa depan seseorang. Apakah masa depan sudah ada di depan matanya sampai tidak pernah berpikir seperti itu tentang dirinya sendiri?
Dan kenapa, semua itu selalu menjadi tolak ukur kesuksesan. Jika memang seperti itu, lalu bagaimana dengan orang-orang di luar sana yang rela membuang mimpinya demi keluarga? Rela menjeda pendidikannya supaya saudara yang lain bisa menyelesaikan sekolahnya? Banyak hal yang harus dipertimbangkan jika ditelisik lagi.
Bahkan, Anin sendiri merasakan bagaimana orang-orang sekitar selalu menuntut tentang kesempurnaan pada dirinya, tanpa melihat batas dirinya yang bisa saja tidak bisa ia lewati. Sepertinya mereka tidak pernah memikirkan bagaimana dampak dari perkataan itu terhadap seseorang.
"Buat apa mengumbar-umbar usaha kayak gitu coba. Kan ada orang yang cuma mau memperlihatkan keberhasilannya aja," gerutu Anin. Kedua kakinya sedari tadi menendang-nendang batu kecil. Tubuhnya yang lesu karena beban berat tasnya juga hari ini yang terasa menyebalkan membuatnya tak luput dari pandangan seseorang sedari tadi.
"Banyak omong bangat tuh cewek. Pengen nguyel-nguyel ih gemes." Saking gemasnya, batu itu kini terlempar lebih jauh akibat aksi brutalnya Anin. Mana sedari tadi ia tidak melihat kehadiran Aksa sama sekali. Kan jadi hampa rasanya.
Suasana sore ini sangat tergambar jelas di antara perasaan Anin dan seseorang yang sedari tadi memperhatikannya. Jarak di antara keduanya seakan memberitahukannya bahwa mereka tidak bisa bersama sekarang. Apalagi hanya untuk menanyakan kabar. Hingga pundak orang itu ditepuk oleh temannya yang berperawakan lebih pendek darinya.
"Ngeliatin apa sih?" tanyanya ikut menatap arah pandang temannya. Setelah mengetahui apa yang dimaksud, ia pun mengangguk.
"Kenapa? Sekarang suka?"
Rezka menghela napas berat. Alga sungguh menyebalkan. Bagaimana bisa ia menyukai Anin di saat ia sudah memiliki kekasih. "Ngawur," ucapnya dan melangkah meninggalkan cowok di sampingnya yang mengganggu. Tetapi tangannya berhasil di tahan oleh Alga.
"Mau kemana? Motor lo di sana," seru Alga. Rezka tidak menjawab, justru malah melihat ke arah Anin yang kini tengah melempar batu kerikil itu ke sawah. Di samping sekolah memang terdapat beberapa hektar sawah yang kini berair.
Lagi dan lagi, Alga hanya bisa menggelengkan kepalanya sebelum menampar pelan pipi Rezka. "Sadar, Ka. Lo udah punya cewek, jangan gini lah," tegurnya. Rezka menyentuh pipinya yang barusan di tampar Alga. "Lo mau cewek lo marah? Nggak usah nyari ribut," lanjutnya.
"Terus gue harus gimana? Diam aja gitu ngeliat dia kayak gitu?" geram Rezka. Alga berdecih. Muka Rezka saat ini sangat menyebalkan. Ingin sekali rasanya ia menampar kembali, tapi dengan kencang.
"Jawab gue, Alga!" tegasnya tertahan. Wajahnya sudah memerah.
Mengatur napas supaya lebih tenang, Alga kini menatap Rezka dengan lebih sabar. "Oke, gue mau nanya. Lo nyamperin Anin ke sana mau ngapain?"
Rezka berdecak. "Nenangin lah. Gue nggak tega, Alga. Gue emang baru tahu perasaan dia ke gue. Dan lo juga tahu kan kalau gue pernah ada rasa sama dia tapi—"
"Goblok." Alga memalingkan wajahnya sebentar. "Kenapa? Nyesel lo?"
"Kok?"
Alga menyugar rambutnya ke belakang. Ia capek karena Rezka saat ini terlihat benar-benar bodoh. Berbeda sekali dengan Rezka yang penuh perhitungan tentang pelajaran.
"Kalau lo pernah suka sama dia, kenapa dari awal nggak bilang? Terus baru nyesel waktu lo udah punya pacar? Sialan itu namanya." Napas Alga kembali memburu. Batas sabarnya benar-benar kembali diuji. Sia-sia rasanya aksi menenangkan diri tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa, Haechan
Teen Fiction"Setiap pengalaman akan membuatmu tumbuh, dan setiap penyesalan akan membawamu pada ruang keikhlasan." "Semua anak itu punya rasa sakitnya masing-masing. Entah itu abang, aa, atau adik. Jadi, urang nggak mau ngeluh di sini." Apa itu menyerah? Padaha...