Malam ini, pikiran Juan sedikit kalut apalagi hanya ada ia di rumah sekarang. Mamah dan Bapak sedang pergi untuk membeli makanan si Bilu, alias kucing mereka. Dan Aksa pun tadi berpamitan pergi dengan catatan, Juan tidak boleh memberitahu mamah dan bapak kalau ia pergi keluar.
Tangan Juan tak henti memainkan buku dinosaurus 3D yang ia punya. Perasaannya campur aduk sekarang apalagi kemarin Aksa memergokinya sedang memakai salep, pasti melihat lebamnya juga.
Banyak sekali kata-kata yang ingin ia keluarkan, tetapi ia bingung harus bagaimana. Akhirnya, Juan menelpon Acel. Selama telponan tadi, Juan dinasehati Acel habis-habisan perihal ia yang kurang tegas, dan terlalu baik. Padahal bukannya Juan terlalu baik, hanya saja Juan takut memperbesar masalah dan malah akan merembet kemana-mana. Mungkin nanti mereka bisa berhenti mengganggunya kan? Juan harap begitu.
“Kalau tahu aku di sekolah gimana, aa marah nggak yah?” Juan tersenyum kecil. Membayanngkannya saja membuat Juan kewalahan.
Halaman buku cerita itu kembali ia balik dan memasukkan satu tangannya ke dalam mulut dinosaurus yang terbuka di halaman terakhir buku. Terlalu bingung menghadapi suatu hal membuat seseorang akan melakukan hal-hal yang di luar nalarnya. Dan untungnya menyerahkan jari-jari tangannya di makan dinosaurus menjadi pelampiasannya.
Bibirnya mengerucut lucu. Telepon dari Candra pun sudah beberapa kali ia matikan. Ia terlalu enggan untuk menjawab atau justru ia takut jika menghadapi kenyataan bahwa Aksa sudah memberitahu Candra tentang kedaannya. Padahal seharusnya Juan tidak usah takut karena bisa saja di antara keduanya bisa menyembuhkan luka Juan.
Tok! Tok!
“Assalamualaikum! Punten goput.”
Juan terkekeh ketika mendengar suara itu. Tidak salah lagi bahwa itu pasti suara Aksa. Mau menghindar bagaimanapun, mereka akan tetap bertemu. Jadi, dengan hati mantap, Juan membuka pintu kamarnya.
"Waalaikumsalam, ongkirnya ambil aja, a," balasnya. Di depannya, Aksa terkekeh mendengar respon adiknya. Lalu, ia menelusup masuk dengan satu tangan yang menenteng kresek berisi martabak.
Tubuhnya ia dudukkan di karpet puzzle Juan. Kedua matanya menatap ke arah tangan Juan sekilas dan beralih menatap wajahnya yang kini sudah ada di depannya. "Kenapa maneh nggak angkat telepon Bang Candra?" Nadanya tiba-tiba menjadi serius.
Juan gelagapan. Wajahnya menunduk membuat Aksa menghela nafas dan langsung mengangkat dagu adiknya. "Jadi cowok itu jangan terus nunduk. Kapan mau berhasilnya kalau kayak gitu," ucapnya.
"Acel?"
Ujaran spontan dari Juan berhasil membuat Aksa tersentak. "Maksudnya?"
Raut wajah Juan kini terlihat lebih serius dari Aksa tadi. "Acel kasih tahu apa aja ke, aa?" tanyanya. Mau seperti apa pun di sembunyikan, akhirnya pasti akan ketahuan juga. Itulah yang dipikirkan Juan saat ini.
"Kalau aa udah tahu, berarti menurut kamu aa bakal apa?" tanya balik Aksa.
Juan menghela nafas dan menyingkirkan tangan Aksa di dagunya. "Aku gatau aa tanya apa ke Acel dan aku gatau Acel bilang apa ke aa. Yang pasti, lebam yang aa lihat itu karena aku terantuk pintu waktu pulang sekolah," jelas Juan.
"Kok bisa? Jalanan kan pasti luas." Aksa masih terlihat khawatir.
"Namanya juga waktunya pulang, a. Ke dorong-dorong pasti, bahkan Acel pun jatuh ke selokan depan kelas karena ke dorong." Juan tiba-tiba terkekeh mengingat kejadian kemarin. Apalagi Acel yang memarahi siapa saja yang terlihat menjadi tersangka.
"Terus-terus si Acel kumaha eta? Teu baseuh kan eta selokana?" Aksa tiba-tiba menjadi ibu-ibu yang kepo perihal kelanjutan sinetron yang ia tonton. Rasanya, ia menjadi dejavu tentang pembicaraan ini. Seperti waktu mencari tahu tentang siapa sakinah kemarin malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa, Haechan
Teen Fiction"Setiap pengalaman akan membuatmu tumbuh, dan setiap penyesalan akan membawamu pada ruang keikhlasan." "Semua anak itu punya rasa sakitnya masing-masing. Entah itu abang, aa, atau adik. Jadi, urang nggak mau ngeluh di sini." Apa itu menyerah? Padaha...