Televisi yang tengah menampilkan berita pembullyan membuat bapak dan mamah was-was. Akhir-akhir ini marak sekali anak-anak yang merasa jagoan dan berani memperlakukan temannya dengan semena-mena.
Mamah lantas melirik Juan yang tengah makan dadar gulung pemberian tetangga. "Kamu di sekolah baik-baik aja kan dek?" Tiba-tiba mamah bertanya membuat bapak yang serius menonton dan Bang Candra yang sibuk dengan laptopnya ikut menoleh.
Ditanya seperti itu jelas Juan dibuat linglung. Dengan segaris senyum, Juan menatap mamah. "Adek baik-baik aja kok, mah," jawabnya berbeda dengan pemikirannya yang justru menerawang kejadian sore tadi di sekolah.
"Syukur kalau gitu." Mamah sedikit lega mendengarnya. Bukannya gimana, tapi mamah tahu jika Juan itu tipe orang yang selalu diam saja jika diperlakukan seperti itu. Ia akan diam saja meski.ia tengah terancam. itulah yang selama ini mamah tahu dan pikirkan. Sedangkan jika ditelisik lebih jauh, Juan punya alasan tersendiri kenapa ia harus diam saja.
Juan mengangguk dan kembali mengambil dadar gulung. "Mamah, bapak, sama abang nggak perlu khawatir. Adek juga punya temen kok di sekolah. Dia baik banget bahkan dia sering ikut olimpiade."
• • • •
Terangnya lampu kamar karena baru diganti bapak sore tadi, Aksa sekarang tengah serius mengerjakan tugas nirmana sarungnya yang kini tinggal satu garis lagi. "Nah, kieu atuh beres," ucapnya dengan rasa bangga. Ia mengangkat tinggi-tinggi kertas nirmana nya yang telah selesai setelah sekian kertas ia buang karena salah memberi garis.
Meregangkan kedua otot lengannya dan kedua telinganya yang menangkap suara dari lantai bawah yang penuh akan tawa membuat kedua sudut bibirnya terangkat. Malam ini, ia tidak bisa ikut menikmati telor gulung di ruang tamu karena tuntutan tugasnya yang amat menggunung.
Setelah mengamankan tugas seni budayanya yang menguji kesabaran, Aksa langsung mengambil kertas polio untuk kembali ia kerjakan tugas bahasa Indonesia yang kali ini sedang berpusat ke arah per-novelan. Sedikit kesusahan karena ia tidak tahu menahu cara membuatnya. Apalagi dengan prolog dan epilog yang membuatnya pusing tidak tertolong.
Earphone putih kembali menyumpal kedua telinganya. Untung saja tadi sore ia bertemu dengan seorang Anin tanpa disengaja dan memberitahunya satu hal, katanya jika menulis sebuah novel sebisa mungkin mendengarkan musik yang pas dengan tema yang akan kita tulis supaya lebih enak. Itulah cara Anin menikmati waktu menulisnya, bahkan ia pun tadi merekomendasikan sebuah drakor kepadanya. Sepertinya kini mereka sudah berteman?
Lagu Sal Priadi yang berjudul "Mesra-mesranya kecil-kecilan dulu" mengalun indah di telinga Aksa. Ia terhanyut dalam ruang rasa. Emosinya jadi meluap seakan ada begitu banyak rasa dan suasana yang ingin ia tuangkan. Di saat ia mulai terbawa suasana dan kelancaran idenya yang tiba-tiba, satu notifikasi mengganggu telinganya membuat ia berdecak. Aksa membuka pesan yang dikirim oleh Nanda.
Dengan sedikit mendumal, Aksa turun ke bawah dan melihat Juan yang tengah bermain uno balok bersama bapak. Berjalan membuka pintu rumah, helaan napas keluar dari hidung Aksa. Benar saja, Nanda tengah berdiri di halaman rumahnya sembari membawa cangkedong—bungkusan makanan beserta rentetannya yang dibungkus—kentara dari plastik putih yang membungkusnya terlihat menerawang."Nih, dari si mamah buat keluarga." Nanda memberikan beberapa bungkusan itu pada Aksa yang langsung diterima dengan baik.
Kedua mata Aksa tampak berbinar melihat bungkusan itu. "Nuhun gitu bilangin ke si mamah. Maaf teu bisa hadir," ujarnya.
Nanda terkekeh. "Santai, urang poho teu ngundang maneh mun aya syukuran," ujarnya yang membuat Aksa ikut terkekeh.
"Nya udah atuh, urang edek nganterkeun kanu lain." Aksa mengangguk, tapi perkataan Nanda selanjutnya membuat ia termenung sekaligus ingin menendang bocah itu.
"Ngerjakeun tugasna tong serius teuing ah, katingali eta keriputna." Setelah mengucapkan itu, Nanda lari dan menaiki motor yang dikendarai oleh saudaranya untuk menemani ia mengantar tugas dari mamahnya.
Aksa yang terdiam langsung menyentuh wajahnya. "Bahaya kalau urang katingali tua, bakal jomblo sampe lulus ieu mah," ucapnya. Lalu kembali masuk yang langsung disambut oleh Juan. Aksa sampai heran pada adiknya itu yang selalu tahu jika soal makanan. Mungkin ada ikatan batin antara Juan dan makanan?
"Dari siapa, a?" tanya mamah melihat Aksa menaruh bungkusan itu di tengah meja dan langsung diserbu si bungsu.
"Dari Nanda, habis syukuran rumah katanya." Pandangan Aksa tak luput dari Juan.
Mamah dan bapak mengangguk. "Sok atuh kamu juga makan a. Bawa tuh yang satu," titah mamah yang langsung diangguki Aksa. Kebetulan yang pas karena ia juga belum makan.
Lantas, Aksa membawanya ke kamar tak lupa dengan air minum yang ia ambil di dapur. Menaiki tangga, membuka pintu kamar, dan menutupnya kembali. Aksa duduk di lantai kamarnya dan memasangkan ponsel miliknya pada tripod. Ia memutuskan sembari menonton film sekaligus teringat rekomendasi Anin tentang film "Reply 1988" yang diperankan oleh Lee Hyeri.
Baru episode pertama saja ternyata sudah membuat perasaan Aksa campur aduk karena sepertinya ia tahu perasaan Sung Doek Sun sebagai anak tengah.
Ia lantas merutuki Anin dari kamarnya. "Awas kamu, Anin," dumelnya. Tapi tetap saja ia tonton karena katanya sudah terlanjur mana mungkin bisa ditinggalkan begitu saja.
TOLONG DIBACA!!
maaf gaess baru update nggak konsisten banget😭😭
sebenarnya ini cerita udah hampir end, cuma aku nulisnya di buku jadi harus di salin dulu mungkin itu yang bikin syulit😔🙏
hatur tengkyu untuk kalian yang masih betah baca, maafkan ke labilan aku yang satu ini.
update yok tetap berjalan, gamau janjiin apa-apa lagi deh sekarang yang pasti setiap minggu bakal update aja, aku salin ke sini😭☝🏻
salam nansaiii
27 April 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa, Haechan
Novela Juvenil"Setiap pengalaman akan membuatmu tumbuh, dan setiap penyesalan akan membawamu pada ruang keikhlasan." "Semua anak itu punya rasa sakitnya masing-masing. Entah itu abang, aa, atau adik. Jadi, urang nggak mau ngeluh di sini." Apa itu menyerah? Padaha...