Halo, teman-teman!
Ini telat banget sih update nya.
Sorry yah, kalau lagi lancar juga aku bakal update bahkan bisa 2 kali dalam seminggu.
Tapi, akhir-akhir ini, aku lagi revisi ulang sambil nyalin. Jadi, agak bingung.
Semoga aja tetap konsisten supaya cerita ini bisa tamat yah.
Ada yang masih nunggu nggak sih ini?
Wkwk, jangan vote dan komennya guyss💗🔥
Tolong kerjasamanya.
Gemercik suara hujan di luar jendela bagaikan sebuah elegi yang membawa dilema pada seseorang yang sedari tadi menutupi seluruh badannya dengan selimut. Lampu kamar yang dibiarkan mati membuat suasana sangat suram.
Beberapa mainan dinosaurus dan lego yang tertata rapi seolah memperhatikan satu manusia ini yang sejak tadi tampak murung.
Senyap nya suasana kamar terpecah kala derit pintu dibuka terdengar, menampilkan sosok Aksa yang tak luput menatap segumpal selimut dengan Juan di dalamnya. Sebelum menghampiri Juan, ia menyimpan sebuah kantung plastik di sisi meja belajar.
Aksa duduk di samping Juan dan menepuk pelan gumpalan selimut itu. Tubuh Juan sedikit tersentak merasakan sentuhan, tetapi langsung normal kembali membuat Aksa tersenyum tipis.
"Yakin nggak akan keluar selimut? Aa bawa buah loh," bujuk Aksa.
Di dalam, Juan menggeleng dengan sedikit cemberut. "Aku tahu, Aa mau interogasi aku kan? Makanya di suruh keluar," ujarnya.
Aksa kikuk. Terbaca yah?
"Begini juga, Aa itu tetap kakak kamu. Kamu lupa kalau sekarang abang pulang? Nanti Aa jawab apa?" lirihnya. Wajahnya khawatir karena selepas pulang dari rumah Nanda, ia mendapati beberapa tisu dengan darah yang menempel berserakan di ruang tamu.
Siapa yang tidak khawatir karena jelas-jelas yang berada di rumah sekarang hanya Juan.
Dengan perlahan, Juan akhirnya membuka selimut menampilkan kepalanya dengan dahi yang bercucuran keringat. Ah, jangan lupakan mata sembabnya. Aksa langsung menangkup kedua pipi anak itu.
"Mana yang berdarah?" desaknya dengan membolak-balikkan wajah sang adik.
Sedikit ragu, Juan menunjuk hidungnya. "Aku mimisan," lirihnya.
Aksa menghela napas panjang. Udara dingin dari hujan kini sudah menjadi panas. Bukannya gimana-gimana, sejauh Juan hidup, tidak pernah Aksa melihat bocah itu mengalami mimisan, meski sewaktu-waktu pasti terjadi. Cuma, entah kenapa hatinya menolak.
"Kenapa bisa mimisan?"
"Kena bola."
"Sengaja?"
Juan tampak terdiam. Ia bingung harus menjawab apa karena, ia pun tidak tahu. Tadi, bola nyasar tiba-tiba mengenai wajahnya yang tengah menyeruput es cekek di koridor.
Bola nyasar bisa saja hal yang wajar dalam bermain menurut orang lain. Tapi baginya, justru hal itu kesengajaan yang diberikan oleh teman Bagas. Iya, temannya. Karena selepas mengenai Juan, mereka justru tertawa.
"Nggak tahu," jawab Juan sekedarnya.
Kesekian kalinya, Aksa menghela napas panjang. Baiklah, jika itu yang hanya ingin Juan beritahukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa, Haechan
Novela Juvenil"Setiap pengalaman akan membuatmu tumbuh, dan setiap penyesalan akan membawamu pada ruang keikhlasan." "Semua anak itu punya rasa sakitnya masing-masing. Entah itu abang, aa, atau adik. Jadi, urang nggak mau ngeluh di sini." Apa itu menyerah? Padaha...