9. Di malam itu

69 5 0
                                    

Di balkon kamar Aksa, terlihat tiga pemuda yang sedang nongkrong. Candra yang tengah memetik gitar, begitu juga dengan Aksa dan Juan yang tengah sibuk bermain ular tangga yang didapat Juan 2 hari lalu dari hasil lotre di warung.

Angin malam yang menusuk, mereka hiraukan. Dengan tawa mereka yang tidak tahu tempat dan sempat dimarahi tetangga, ternyata mereka mempunyai tujuan, kata Aksa, "kita hibur mereka yang baru pulang kerja dari balkon sini." Tawa anak itu yang paling menggelegar dari yang lain.

"Ih, aa mah licik ah. Dadu aku jadi terpaksa berhenti di satu, harusnya kan enam," keluh Juan, melihat lemparan dadunya terkena kaki monster Aksa.

Mendengar fitnahan itu, Aksa melotot. "Heh, cil! Kuasa Tuhan eta mah. Lagian nya, hidup itu kadang di atas, kadang di bawah. Tong sok nyalahkeun batur lah," elaknya sewot.

"Da aa kakina jeung didinya." Juan masih tidak terima. Padahal sebentar lagi ia memenangkan permainannya dan di traktir Aksa beli teh poci.

Aksa menghela nafasnya panjang. "Terus ieu sukuna kudu kamanakeun? Angkat ka pager?" Juan balik mendengus tatkala Aksa benar-benar mengangkat kakinya ke atas pagar. Kalau berdebat dengan Aksa memang selalu dibuat skakmat. Ada saja jawaban dan tindakan yang selalu ia berikan. Sedangkan Candra sedari tadi hanya bisa terkekeh mendengarkan perdebatan kedua adiknya yang menurutnya kurang berfaedah.

"Bang." Juan akhirnya merengek pada Candra karena Aksa lagi-lagi bermain curang dengan selalu mengulurkan kakinya saat Juan melempar dadu.

"Apa?" sahut Candra yang masih fokus dengan gitarnya bahkan mulutnya pun bergumam seirama dengan senar yang ia petik.

"Si aa mainnya licik ah," adunya yang langsung disoraki Aksa.

"Huuuuu ngadu," ejek Aksa.

Bibir Juan terlihat maju layaknya bebek. "Biarin weh. Orang licik jangan ikutan," ambeknya.

"Iyey." Aksa memasang wajah julidnya. Sepertinya di antara keduanya tidak ada yang mau mengalah.

Sepertinya sekarang Candra harus turun tangan, apalagi melihat si bungsu yang sudah cemberut. Candra menghentikan aktivitas menggitarnya. Angin malam bukannya membuat mereka tenang malah kini semakin menjadi-jadi. Kalau boleh jujur, setiap hari Candra selalu ingin mengangkat bendera putih. Ia menyerah. Ia terlalu lemah jika dihadapi adik-adiknya yang super menyebalkan.

"Aa jangan licik atuh mainnya," seru Candra akhirnya.

"Ih, aa mah bercanda. Dia weh yang dibawa serius," sangkalnya.

Mata Candra menyipit, mencari kebohongan di sana. "Ngelak terus," ledeknya yang mendapatkan helaan nafas dari Aksa.

Lelah karena tidak mempunyai sekutu, Aksa membaringkan dirinya di lantai. Ternyata, rasanya berjuang sendiri itu begini yah? Tidak mengenakan. Apakah Anin juga merasakan hal ini saat menyukai Rezka? Ah, mengingat soal Anin, tadi sore setelah berkelahi dengan Juan, Aksa membawa Anin untuk membeli es krim di warung depan dan mengantarnya pulang membuat Juan merajuk karena tidak dibelikan.

"Gimana yah, soalnya sampai kapanpun juga aku mah nggak ada yang ngebela. Cuma diri sendiri aja yang bisa," ucapnya seketika sendu.

Mendengar hal itu keluar dari mulut adiknya tanpa di saring, Candra lantas memukul paha Aksa membuat sang empu meringis memegangi paha mulusnya.

"Kebiasaan, aa mah kalau ngomong suka gitu. Gimana orang lain mau ngebela kalau kamu sendirinya emang salah," omel Candra.

Aksa semakin mendengus, sedangkan Juan hanya melongo saja melihat perdebatan kedua kakaknya. Sepertinya panggung drama beralih karakter. "Tuh da, abang mah mana ngerti. Aku kan bilang bercanda." Aksa membela diri. "Soalnya malam ini garing banget kayak meratapi cinta Neng Sakinah," lanjutnya.

Aksara Rasa, HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang