PUKUL setengah tujuh malam waktu indonesia barat mobil yang di kendarai oleh mas Raffi melaju dengan tenang di jalan raya. Hari ini hari jumat. Setelah jam pulang kantor berakhir aku dan mas Raffi berkendara menuju kampung halaman dimana bu Yayuk kini tinggal.
Sebenarnya niat untuk pulang ke rumah masa remajaku itu hanya akan aku lakukan sendiri tanpa bersama dengan mas Raffi. Karena setahuku mbak Likke sudah membuat agenda liburan ke pulau dewata dengan suamiku yang juga suaminya itu. Hari senin merupakan tanggal merah jadi rencana awal mas Raffi malam ini harusnya mereka berangkat ke bandara untuk menuju pulau dewata bali. Bukan malah duduk berdampingan denganku di dalam mobil yang suasananya hening dan sepi ini. Sungguh membuatku yang memang sudah lelah ini merasa tambah mengantuk.
Namun akibat bombardir telepon dari ibunya mas Raffi mengubah rencananya dan memilih untuk pulang bersamaku ke rumah yang udah beberapa bulan ini tak kami sambangi.
Sebelumnya, aku yang sadar diri pun sudah menjelaskan ke ibu jika aku akan pulang sendiri karena mas Raffi ada sedikit pekerjaan yang harus di selesaikan tentu saja dengan sedikit banyak bumbu kebohongan yang aku ceritakan. Namun bu Yayuk sepertinya juga sudah rindu dengan anak lelaki semata wayangnya. Jadilah beliau lebih-lebih rajin lagi menelepon anaknya itu dengan bujukan dan rayuan agar anaknya bisa pulang di akhir pekan ini yang memang bisa di katakan libur panjang bagi kami orang kantoran.
Tentu saja ibuku itu berhasil membujuknya, jika tidak mana mungkin kini kami berangkat bersama melewati kemacetan yang tiba-tiba muncul di depan. Padahal tadi sudah ku tebak perjalanan kami malam ini lancar. Bahkan sudah ku estimasikan waktu kedatangan kami tak akan lebih malam dari jam 11. Namun ini belum ada setengah perjalanan mobil yang ku tumpangi ini berhenti bergerak karena ada barisan mobil yang juga melakukan hal yang sama di depannya.
Dari pada hening menyelimuti, aku pun mencoba berbasa-basi yang tentu saja sangat basi. Tapi tak apalah pertanyaan itu tetap ku ajukan dari pada aku diam beku di tengah keheningan ini.
"Macet ya mas" tanyaku.
Mas Raffi hanya menoleh ke arahku kemudian menjawab berupa gumaman.
Mungkin mood mas Raffi belum membaik. Pasalnya kami berangkat tanpa mendapat restu ijin dari istri keduanya. Mbak Likke tadi sempat merajuk dan dengan aktingnya yang lebay berusaha menahan mas Raffi untuk berangkat. Bahkan di detik terakhir mbak Likke sempat mengijinkan suaminya pulang ke rumah asal berangkat sendiri besok. Intinya dia tidak ingin kami berangkat pulang bersama. Itu yang ku tangkap. Namun sepertinya mas Raffi masih berfikiran logis dengan menolak usulan dari istri keduanya.
"Ya gak bisa dong sayang. Kalau aku sama Rima pulang sendiri-sendiri yang ada ibu nanti kepikiran dan malah curiga. Dan aku gak ingin ibu kepikiran karena itu bisa membuat kondisinya drop." Jelas mas Raffi tadi.
"Terserah kamu. Kalau mau pulang sana cepat keluar dari apartemen. Gak usah peduliin aku lagi." Drama kembali di mulai. Setelah berucap begitu mbak Likke langsung masuk kamar dan mengunci pintunya dari dalam. Bahkan dia tak menghiraukan gedoran pintu dengan bujukan yang keluar dari mulut suaminya.
Untung saja nomor ponsel ibu kembali menghubungi nomor ponsel mas Raffi. Jadilah kami bisa mengakhiri drama series hari ini.
"Kamu lapar apa gak Rim? Depan ada MCD kalau mau kita bisa drive thru."
Sumpah. Dari tadi aku tidak merasakan lapar karena antusias ku yang akan kembali bertemu ibu. Namun setelah kalimat tanya yang di lontarkan mas Raffi mendadak membuat perutku berbunyi dengan nyaring. Sontak kedua tanganku langsung memegang perutku. Aku pun meringis ketika melihat mas Raffi terkekeh dengan senyuman tampannya.
"Hehehe.. mendadak lapar lagi mas. Padahal tadi udah ganjel pake roti sama donat." Memang sengaja aku tidak makan nasi karena ibu sudah menyiapkan menu makan malam. Aku pun berjanji semalam apapun kami datang aku akan mencicipi masakannya.
"Ya udah kita mampir belok bentar sambil menunggu mobil biar gak kemacetan."
Apakah kalian penasaran bagaimana sikap mas Raffi awal-awal setelah mengetahui aku bekerja di tempat yang sama dengan ia bekerja?.
Hahaha
Tenang saja. Mas Raffi tidak marah, mungkin saja mas Raffi hanya kaget jadi dia meminta penjelasan kepadaku dan menanyakan kenapa aku merahasiakan ini. Setelah ku jelaskan pun mas Raffi mengerti dan dia setuju atau lebih tepatnya dia menyarankan agar hubungan kami tidak di ketahui di lingkungan kerja kami bersikap tidak saling mengenal. Karena kami sudah sepemikiran jadi semuanya clear, masalah yang aku takutkan beres dengan begitu mudah.
Meskipun terkadang kami berangkat ke kantor dan pulang bersama menuju apartemen. Tapi hal tersebut aku lakukan dengan sembunyi-sembunyi. Kadang aku di turunkan di halte dekat kantor atau pas pulang aku yang sembunyi-sembunyi masuk ke mobil mas Raffi yang terparkir rapi di basement. Seperti hari ini tentunya.
*
Waktu tempuh yang ku perkirakan hanya akan memakan waktu 3 sampai 4 jam saja tenyata tak bisa terealisasikan akibat jalanan macet. Jadi mobil yang kami kendarai baru bisa terparkir di halaman rumah ibu ketika waktu sudah menunjuk angka 11 lewat 45 menit hampir tengah malam.
Lampu ruang tamu terlihat masih menyala menandakan pemilik rumah masih dalam keadaan terjaga. Dan benar saja, baru saja kaki kami menginjak tanah suara kunci pintu terdengar dari dalam dan tak lama pintu rumah terbuka dengan lebar.
Dua wanita paruh baya keluar dari dalam dengan wajah yang sama sekali tidak terlihat mengantuk. Sepertinya ibu dan bude Marwah sengaja menunggu kehadiran kami.
Aku pun langsung tersenyum lebar dan berlari ke arah mereka. "Ibu... aku pulang". teriakku seraya memeluk tubuh tua milik ibu angkatku yang juga menjadi ibu mertuaku kini. Pelukan erat ini seperti bentuk pelampiasan rindu yang telah kami tabung selama ini.
"Aduh anak ibu yang cantik ini". Ucap ibu seraya membalik-balikkan tubuhku ke kanan ke kiri.
"Badan mu sekarang kenapa lebih mengecil, kurusan deh kamu sayang. Jangan-jangan gak di kasih makan ya kamu sama mas mu ini" tuduh ibu ke mas Raffi yang baru saja berdiri di depannya setelah menaruh tas baju kami serta sedikit oleh-oleh yang kami beli ketika dalam perjalanan tadi.
Bukannya menanggapi tuduhan ibunya, mas Raffi malah langsung meraih tangan bude marwah untuk ia salimi.
"Bude, anak ganteng bude pulang. Bukan cuma anak perawan ibu aja yang pulang." Tirunya menirukan ku tadi. Ah aku tahu sepertinya mas Raffi sedang merajuk. Memang begitulah sedewasa apapun anak laki-laki akan tetap kembali ingin bermanja ke ibunya.
Yang sedikit aku kagetkan adalah guyonan mas Raffi yang menyebutku sebagai anak perawan. Ya meski itu merupakan sebuah fakta tapi untung saja sepertinya ibu dan bude tidak menyadarinya.
Karena ibu menanggapi ya dengan tersenyum terkekeh, dan aku pun melepaskan pelukan ibu lalu ikutan meraih tangan bude Marwah yang sempat aku lupakan atensinya.
"Hehe.. bude." Sapaku.
"Iya nduk. Ya udah ayo semua masuk kalian pasti capek habis perjalanan. Tadi bude dan ibu kalian udah siapin makanan yang enak-enak. Tapi kalau kalian capek ya istirahat dulu aja gak apa-apa. Biar masakannya bude simpan buat sarapan besok pagi."
Kami pun masuk ke dalam rumah menuruti saran dari bude Marwah.
*
Bersambung. . .
25.01.2024 🌠
Lanjut nggak nihhh...
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BUKAN YANG KEDUA
ChickLitBagaimana rasanya menjadi yang pertama tapi terasa yang kedua? Adakah di antara kalian yang pernah mengalaminya. . Kali ini mungkin tiba masa ku. . Tidak pernah ada sedikit pun dalam pikiran ku akan di nikahi oleh mas Raffi, kakak angkat ku sendiri...