BAB 23

1.1K 92 8
                                    

Haloha...
Bisa gak ya hari ini vote nya nambah
Aku mau up bab selanjutnya di wattpad tapi yang vote gk nambah huhuhu mengsyedihhh.. Yuk yg belum vote buka wattpad kalian kembali 😁

Fyi
Bab 24 dan 25 bisa baca duluan di karyakarsa
Cari akun aku @R154v14n
Spoiler nya

Tenang aja kalo vote dam komen nya rame Bab 24 juga akan segera meluncurr di wattpad

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tenang aja kalo vote dam komen nya rame Bab 24 juga akan segera meluncurr di wattpad.
Jadi yukkk ramaikan..

Happy reading guys..

*

*

BEBERAPA hari ini Mas Raffi di serang sakit demam dan mual. Tiap pagi-pagi sekali terdengar suara orang muntah dari kamar Mas Raffi dan Mbak Likke.
Ku pikir hanya Mbak Likke saja yang mengalami mual karena wajar saja ibu hamil pada trisemester pertama biasa mengalaminya. Namun ketika sampai pukul 7 pagi Mas Raffi tak kunjung keluar dari kamarnya aku berinisiatif menanyakannya. Ya maklum saja karena sejak 3 hari yang lalu semenjak Mbak Likke kembali ke Apartemen ini, otomatis aku dan Mas Raffi tak lagi tidur sekamar. Jadi aku tidak mengetahui keadaan Mas Raffi.

"Mas Raffi kok belum keluar sarapan mbak, emang gak ngantor." tanyaku ketika ku lihat Mbak Likke sudah berpakaian rapi dan asyik memakan sarapannya sendiri. Terdapat nasi goreng sosis yang telah ku goreng tadi pagi sebelum aku mandi dan jus jeruk yang sepertinya Mbak Likke buat sendiri karena aku hanya menyiapkan dua gelas teh dan satu cangkir kopi.

Setelah menyelesaikan kunyahannya Mbak Likke barulah menjawab, "Raffi sakit, muntah-muntah dari pagi udah ku suruh sarapan gak mau katanya masih pusing kepalanya. Kamu cek aja sebelum berangkat, soalnya aku mau pergi ada pemotretan." Setelah menghabiskan jus jeruk dalam gelas Mbak Likke bangkit dari kursi dan masuk ke dalam kamar hanya untuk mengambil tas. Ku dengar ia berpamitan dengan suamiku lalu melenggang keluar dari apartemen tanpa basa basi berpamitan denganku.

Hah.. Sabar, sudah biasa aku di perilakukan bagai pembantu olehnya. Piring dan gelas bekas makannya bahkan hanya ia taruh di bak cuci piring tanpa berniat mencucinya.

Setelah aku selesai menyiapkan bekal untuk makan siangku nanti, aku melangkahkan kakiku menuju kamar Mas Raffi. Sebelumnya aku melirik ke arah jam dinding yang ternyata sudah menunjuk angka 7 lewat 15 menit. Sebenarnya ini sudah termasuk siang menurutku karena jam segini aku masih belum sarapan. Tapi hatiku tak nyaman bila harus sarapan sendiri sedangkan suamiku sedang sakit di kamarnya.

Tok tok..

Tak terdengar sahutan dari dalam, "Mas aku masuk ya.." ijinku lalu membuka handle pintu. Di atas ranjang kosong tak ku temukan keberadaan suamiku itu. Namun dari pintu kamar mandi yang tertutup ku tebak Mas Raffi berada di dalamnya. Aku pun memutuskan untuk menata kembali seprei yang terlihat kusut berantantakan supaya menjadi rapi. Selesai merapikan tapi Mas Raffi tak kunjung keluar dari dalam kamar mandi, padahal tidak ada suara air kran yang menyala yang berarti mas Raffi tidak sedang mandi.

Karena mendadak pikiranku tidak enak aku pun memutuskan untuk mengetuk pintu kamar mandi.

Tok tok tok.. Tok tok tok..

"Mas.. Mas Raffi.. Kamu di dalam kan.."

Tok tok tok..

"Aku buka ya pintu nya.."

Karena tak mendapat respon aku langsung membuka pintu kamar mandi yang untungnya tidak terkunci itu.

Dan benar saja suamiku itu sudah tergeletak di bawah wastafel dengan wajahnya yang pucat.

"Astagfirullah Mas.." Aku langsung menghampirinya dan mencoba meraih kepala Mas Raffi agar berada dalam pangkuanku.

"Mas.. Mas Raffi.. Bangun mas.." Jujur saja aku takut dan panik namun aku tetap mencoba membangunkan suamiku itu dengan cara menepuk-nepuk pelan pipinya. Aku masih merasakan denyut nadi di lehernya dan hembusan pelan nafasnya setidaknya itu sedikit membuatku lega.

"Ya Alloh mas, badanmu panas sekali, bagaimana ini aku gak kuat kalau harus angkat kamu ke atas kasur." Berpikir di situasi panik untung saja aku ingat dengan minyak kayu putih. Segeralah ku rebahkan kembali kepala mas Raffi di atas lantai dingin kamar mandi dengan pelan dan kemudian bergegas masuk ke dalam kamarku sendiri demi mengambil botol minyak kayu putih yang selalu aku masukkan di dalam tas kerja.

Setelah itu aku kembali menghampiri Mas Raffi dan mendekatkan botol minyak kayu putih yang sudah aku buka tutup botolnya ke arah hidung mas Raffi. Tak ketinggalan sebelum itu aku sudah membalurkan minyak kayu putih tersebut ke atas dada dan perut mas Raffi supaya hangat.

"Alhamdulillah.." Rapalku ketika melihat kedua mata Mas Raffi sedikit terbuka. Memang butuh waktu tapi setidaknya minyak kayu putih bisa menyadarkan Mas Raffi dari pingsannya.

"Mas pindah ke kasur dulu yuk ku bantu pelan-pelan."

"Rim.. Dingin.. Pusing.." Jawabnya yang tak nyambung dengan ajakanku.

"Iya aku tahu kamu kedinginan sama pusing, makanya hayuk bangun pelan-pelan kita pindah ke kasur biar aku bisa buatin kamu teh hangat mas. Aku juga gak kuat kalau harus angkat kamu sendirian ke atas kasur. Makanya ayo aku bantu, kalau kamu pusing kamu bisa rangkul aku mas nanti aku papah." Bujukku yang mendapat anggukan pelan dari kepalanya.

"Yuk, Bismillahirrohmanirohim.."

Aku pun dengan susah payah mencoba membangunkan tubuh besar Mas Raffi dan memapahnya menuju kasur.

Ku baringkan pelan-pelan tubuhnya ketika kami sudah berada di sebelah kanan kasur dimana letaknya paling dekat dengan kamar mandi.

"Pusing Rim.. Dingin banget.." Keluhnya.

"Iya tunggu sebentar ya mas aku buatin teh hangat sekalian buatin bubur buat kamu."

"Gak mau.. Gak mau makan nasi. Eneg aku rasanya bayangin nasi lembek."

Karena ku pikir Mas Raffi tak mau memakan bubur nasi maka ku tawarkan opsi lainnya. "Kalau gitu kamu mau makan nasi goreng Mas, tadi aku cuma masak nasi goreng aja soalnya. Dikit-dikit ya biar perut kamu gak kosong, ada isi nya buat minum obat habis ini. Ya ya.." Bujukku.

"Gak mau makan nasi Rim.. Uh.. Dingin.."

Beginilah Mas Raffi jika sedang sakit sifat manjanya biasanya keluar.

"Ya udah aku bikinin teh hangat dulu Mas biar badanmu gak dingin-dingin banget."

Aku pun berlalu menuju dapur untuk membuat secangkir teh untuk suamiku yang sedang sakit itu.

Sambil menunggu air mendidih aku meraih ponselku yang berada di atas meja, mengabarkan kepada Bu sita selaku HRD jika hari ini aku tidak bisa masuk kerja dengan alasan sedang sakit. Tak ketinggalan aku juga mengabari di grup Teras Rumpi agar teman-temanku itu tak mencari ku.

"Lagian Mbak Likke ini gimana sih, udah tau suami lagi sakit malah tetep aja berangkat kerja. Boleh sih kerja tapi paling gak pastiin dulu suaminya itu sarapan sama minum obat kek, bukannya malah abai langsung berangakat kerja aja sampai suaminya pingsan begini. Untung saja suaminya itu mempunyai dua istri, jadi masih ada aku yang ngurus." Dumelku yang sangat menyayangkan sikap Mbak Likke itu.

"Apa jangan-jangan Mbak Likke pergi menemui selingkuhannya.. "

*

*

*

Bersambung. . .

AKU BUKAN YANG KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang